Tukar-menukar (jual-beli) uang dalam fiqih disebut akad sharf. Biasanya, akad sharf dilakukan untuk tujuan memenuhi kebutuhan, seperti umrah, wisata, impor, sekolah dan sebagainya, atau untuk tujuan mencari untung (selisih harga jual-beli).
Bila motifnya adalah istirbah (mencari laba), maka disebut al mutajarah fi al umlaat (bisnis uang).
Hukum asal bisnis mata uang untuk tujuan mendapat laba ini adalah boleh, dengan syarat-syarat yang disimpulkan dari dalil-dalil terkait akad sharf.
Prof. Wahbah Zuhaili -rahimahullah- menyebutkan syarat-syarat bisnis uang ini, yaitu:
1. Serah terima di saat akad, baik tangan ke tangan (haqiqi) atau melalui transfer rekening (hukmi).
2. Bila mata uang sejenis, maka disyaratkan sama jumlah. Bila berbeda jenis, boleh ada tambahan, tapi dengan syarat serah terima (tunai).
3. Tidak ada khiyar syarat yang berdampak penundaan serah terima.
4. Tidak mengandung unsur ihtikar, yaitu menahan uang yang berdampak kenaikan harga.
5. Tidak melakukan jual-beli uang di pasar berjangka.
Bagi pelaku bisnis uang hendaknya berhati-hati, apalagi sesungguhnya uang itu bukan kmoditas bisnis. Uang itu instrumen, alat untuk transaksi. Bukan tujuan transaksi.
Karenanya, Imam Malik -rahimahullah– saat ditanya, “Apakah anda tidak menyukai pekerjaan jual-beli uang?” Imam Malik menjawab: “Ya, kecuali bila bertakwa kepada Allah -ta’ala- dalam transaksinya”.
Ibnu Rusyd -rahimahullah- dalam Al Muqaddimaat berkata,”Pintu jual beli uang adalah pintu riba yang paling sempit. Bagi pelaku jual beli uang untuk keluar dari pintu riba sangat sulit. Kecuali bila ia tergolong orang yang wara’ dan paham halal-haram dalam transaksi itu. Dan yang demikian itu sedikit.”
Wallahu a’lam bisshawab
Malang, 17 Jumadil Akhir 1440H