Oleh:
Ustadz Dr. Ahmad Djalaluddin, Lc. MA.
Thayibat itu kebaikan. Banyak orang menginginkannya. Mereka berharap berada di tengah kebaikan dan mendapat beragam kebaikan.
Berharap thayibatu al hayat (kebaikan hidup), thayibatu al rizki (kebaikan rizki), thayibatu al ‘amal (kebaikan kerja), thayibatu al kasbi (kebaikan profesi dan penghasilan), tahyibatu al infaq (kebaikan belanja), thayibatu al usrah (kebaikan keluarga), thayibatu al ukhuwah wa al shadaaqah (kebaikan persaudaraan dan persahabatan).
Berprofesi dan berpenghasilan menjadi harapan banyak orang. Harapan membesar seiring dengan tanggung jawab. Semakin besar tanggung jawab, semakin besar harapan.
Kesadaran tanggung jawab mendorong produktifitas melalui kesungguhan berprofesi guna memperoleh penghasilan.
Kesadaran tanggung jawab tertinggi adalah kepada Allah –subhanahu wa ta`ala.
Bekerja dan berpenghasilan sebagai wujud tanggung jawab kepada Allah. Berprofesi dan berpenghasilan itu wajib (faridlah syar’iyyah), sebelum menjadi haajat insaniyah (kebutuhan manusiawi).
Kewajiban syar`i menjadi basis bagi berbagai profesi dan penghasilan. Sehingga jenis profesi dan kualitas penghasilan ukurannya adalah syar`i. Mengapa saya bekerja dan berpenghasilan? Ini kewajiban.
Profesi apa dan penghasilan apa yang saya harapkan? Bukan nafsu yang mengarahkan, karena muamalah terikat oleh syariat, meskipun ada keluasan dan keluwesan sehingga hukum asalnya adalah boleh.
Kaidah syar`i dalam profesi dan penghasilan adalah halalan thayiban. Halal terkait jenis profesi. Bila tidak ada dalil yang melarang atau memerintahkan, maka berlaku kaidah asal: boleh (halal). Bila ada dalil yang memerintahkan juga halal.
Tapi bila ada dalil yang melarang, maka haram dan wajib dihindari.
Halal juga tekait dengan traksaksi atau akad. Bila jenis pekerjaannya halal akan tetapi praktik yang dilakukan tidak memenuhi rukun dan syarat akad, bisa menjadi haram.
Sedangkan thayiban, terkait dengan adab dan etika sebagai pelengkap bagi kriteria halal. Meskipun pelengkap bukan berarti tidak penting. Adab dan etika sangat penting karena terkait dengan barakah, mashlahah (manfaat), dan falah (keberuntungan).
Bagaimana cara menghasilkan thayibat? Abu al Laits al Samarqandi –rahimahullah- berkata, “Bagi yang ingin profesi dan penghasilannya thayib (tidak sekedar halal), hendaknya menjaga hal-hal berikut:
Kesibukan bekerja dan mencari rizki, jangan membuat lupa kewajiban kepada Allah atau menundanya.
Jangan mencari rizki dengan cara menyakiti orang lain.
Berniatlah kerja guna menjaga kehormatan diri dan keluarga, bukan untuk menumpuk harta.
Jangan menghabiskan waktu dan tenaga hanya untuk mencari dunia.
Yakini hasil kerja sebagai karunia Allah, bukan hasil prestasi diri.
Wallahu a`lam bisshawab
Malang, 21 Shafar 1438H
Join Telegram:
http://telegram.me/ahmadjalaluddin
Silahkan disebarkan channel Telegram ini, semoga bermanfaat dan menjadi amal jariyah kita. Aamiin,