Hidup itu penuh masalah, al hayatu mukabadah. Allah –taala- menciptakan Bani Adam berada dalam susah payah (QS. Al Balad: 4). Bahkan, masalah, susah payah dan konflik menjadi simatu al hayat (ciri kehidupan) dan sunnah al kaun (hukum alam).
Kapan istirahat dari masalah dan konflik? Imam Ahmad bin Hanbal –rahimahullah- berkata, “Al raahatu (istirahat itu) saat langkah kaki pertama menapaki surga. Bila manusia keluar dari surga, saat itulah ia menghadapi masalah”.
Karena itu, Allah -azza wa jalla- mengingatkan, “Wahai Adam! Sungguh ini (Iblis) musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali jangan sampai dia mengeluarkan kamu berdua dari surga, nanti kamu sengsara” (QS. Thaha: 117)
Bagaimana menghadapi masalah dan konflik itu? Islam mengajarkan bahwa masalah dan konflik yang ada dalam diri lebih berbahaya dibanding masalah dan konflik eksternal. Karena itu, masalah hati layak mendapat prioritas untuk diselesaikan: tazkiyatan, tathhiran wa tanqiyatan (dibersihkan, disucikan, dan dijernihkan).
Hati berpotensi terifeksi penyakit sehinga melahirkan nafsu ammara bissuu (yang selalu mendorong pada keburukan), nafsu yang selalu menyesali diri (lawwamah) karena dosa. Meskipun hati pun bisa sehat yang melahirkan jiwa yang muthmainnah.
Tentang hati dan jiwa yang bermasalah Allah –taala menurunkan ayatnya, “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan” (QS. Al Radu: 17).
Menurut Ibnu Abbas –radliyallahu anhu- seperti dikutip Imam Al Qurthubi –rahimahullah, air yang diturunkan adalah perumpamaan bagi Al Quran (yang diturunkan). Sedangkan al audiyah (lembah-lembah) adalah hati manusia. Sedangkan al zabad (buih) adalah godaan nafsu atau syahwat dan keraguan hati oleh syubhat.
Syahwat dan syubhat adalah penyakit. Syahwat dan syubhat mampu menurunkan nilai dan kualitas diri, ibarat buih yang sirna. Dominasi syahwat: harta, jabatan, dan lawan jenis menjadi pangkal masalah diri atau konflik kehidupan. Sedangkan syubhat akan merusak keyakinan dan kepercayaan (tsiqah). Diri yang yang terinfeksi syubhat akan sulit menerima kebenaran, bahkan menganggap kebenaran sebagai kebohongan dan penipuan. Dan bila syahwat bersanding dengan syubhat, maka akan mudah menipu guna meraih ambisi syahwatnya.
Karena itu menyelesaikan masalah diri (internal) diutamakan sebab ia sebagai muqaddimah untuk menyelesaikan eksternal. Bagi yang mampu menerapi masasalah atau konflik diri (syahwat dan syubhat) akan mudah menghadapi masalah eksternal lainnya. Karena hati adalah raja sedangkan anggota tubuh lainnya adalah tentara yang taat pada komando raja.
Dan untuk menerapi syahwat dan syubhat, al shabru wa al yaqinu adalah obatnya. Sabar adalah obat bagi syahwat harta, tahta, dan lawan jenis; sedangkan yakin adalah obat bagi virus syubhat. Dan bersih dari ambisi syahwat dan syubhat, melalui sabar dan yakin, adalah jalan kepemimpinan.
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami” (QS. Al Sajadah: 24).
Wallahu alam bisshawab
Malang, 16 Ramadhan 1439H