TAMAYYUZ

Muslim itu harus tamayyuz, unik dan berbeda. Bukan asal beda, tetapi berusaha tampil beda, meskipun berada di tengah khalayak; meskipun melakukan aktifitas yang sama dengan orang-orang di sekitarnya.

 Yakhtalith wa lakin yatamayyaz, gaul tapi beda. Bila berbisnis, bekerja, beraktifitas menekuni profesinya, ia berbeda dengan koleganya, meskipun berada dalam satu ruangan, satu lokasi, satu institusi atau satu profesi.

Imam al Syathibi –rahimahullah– memiliki konsep cara hifdhu al syariah (menjaga syariah) yang bisa dijadikan sebagai acuan untuk ‘tampil beda’. Bagi Imam al Maqashid itu, ada dua kiat yang bisa dilakukan, yaitu, min jaanib al wujud dan min janib al adam. Pertama, secara pro aktif melakukan aktifitas yang mampu merealisasikan tujuan (wujud); kedua, secara pasif yaitu menghindari hal-hal yang bisa merusak tujuan (adam).

Berangkat dari konsep al Syathibi ini, maka agar ‘tampil beda’ seorang muslim perlu memerhatikan dua hal, yaitu berusaha memastikan bahwa aktifitas profesinya adalah ibadah (wujud, pro aktif); dan menghindari praktik-praktik yang menjadikan aktifitasnya berubah menjadi tanafus madzmum (bersaing yang tercela) (adam, pasif terhadap kemunkaran).

Pertama, muslim harus memastikan bahwa kesibukannya dalam mengejar harta adalah ibadah. Aktifitas material tapi bernilai spiritual. Mengejar harta tapi mendapat surga. Memperoleh laba juga pahala. Ia pun berbeda dengan sekitarnya yang hanya mendapat dunia, harta, laba, atau kepuasan material semata.

Bagaimana agar kesibukan mencari harta menjadi ibadah? (1) memastikan bahwa jenis profesi yang ditekuni itu masyru (legal dan tidak dilarang syara); (2) menunaikan pekerjaannya dengan ikhlas dan dengan motivasi yang syari (misal, untuk mencukupi kebutuhan keluarga, orang tua, atau diri sendiri; dan bukan untuk pamer); (3) bekerja dengan itqan, berusaha menjadi yang terbaik karena Allah cinta pada hamba yang itqan (Hadits Hasan); (4) menaati aturan-aturan Allah dalam bekerja dan berprofesi; (5) ketika bekerja ia tidak lupa untuk tetap mengingat Allah, beribadah, dan menunaikan kewajiban-kewajiban lainnya.

Kedua, muslim harus menghindari praktik-praktik yang menyebabkan pekerjaan yang ia tekuni menjadi tercela, dengan cara pasif terhadap larangan-larangan.

Di antara larangan yang harus dihindari adalah persaingan negatif. Berlomba boleh. Bersaing juga boleh selama tidak tergolong tanafus madzmum (bersaing yang tercela). Persaingan di kalangan profesional menjadi buruk apabila:

  1. Dimotivasi oleh takaatsur (kebanggan material dan simbol-simbol dunia) hingga membuat lupa kepada Allah –taala. Kata Al Dlahhak –rahimahullah, kesibukan bisnis dan mengejar dunia membuat terlena (QS. Al Takatsur: 1-2).
  2. Mementingkan dunia hingga mengalahkan akhirat (QS. Al Ala: 16). Kata Ibnu Katsir –rahimahullah- lebih mendahulukan dunia daripada urusan akhirat, lebih menonjolkan dunia daripada manfaat dan kebaikan akhirat.
  3. Segala obsesi, orientasi, dan aksinya adalah dunia. Sedih dan gembiranya adalah harta dan dunia. Padahal, bagi yang obsesi, orientasi, dan tujuannya adalah harta-dunia, Allah akan menjadikan kefakiran pada hatinya, menjadikan urusannya bercerai-berai, serta dunia yang mendatanginya hanya yang ditakdirkan untuknya (HR. Turmudzi).

Itulah tamayyuz dalam bisnis dan dalam dunia profesional, dengan memastikan aktifitasnya adalah ibadah dan menghindari persaingan yang tercela.

Boleh jadi orang lain menganggap anda tak berbeda dengan yang lain. Tapi, cukuplah Allah Maha Tahu bahwa anda memang memiliki tamayyuz dengan dua kiat itu.

Wallahu a`lam bisshawab

Malang, 24 Dzulqa’dah 1439H

You might like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.