Oleh: Ustadz Dr. Ahmad Djalaluddin, Lc. MA.
“Assalamualaikum,,,,,
Maaf mau tanya bagaimana hukumnya bg tenaga medis spt dokter perawat dan bidan yg kadang dg sengaja meninggalkan sholat fardhu krn kondisi kedaruratan pasien, manakah yg harus didahulukan..?
Syukron penjelasannya…
Jawaban
Sekedar mengingatkan, bagi dokter, perawat, dan lainnya yang kemungkinan menghadapi situasi yang hampir sama, hendaknya menjaga waktu shalat. Shalat terbaik adalah shalat tepat waktu, di awal waktu, dan berjamaah.
Dalam kondisi kedaruratan pasien, bagaimana praktik shalatnya?
Ada dua kaidah yang perlu diperhatikan sebelum mengetengahkan pendapat-pendapat ulama:
Pertama, dijumpai dalil-dalil yang bisa disimpulkan bahwa kewajiban gugur saat kondisi ‘ajz (ketidakmampuan).
Misal, bila tidak mampu berdiri, maka kewajiban berdiri saat shalat menjadi gugur dan diganti dengan duduk. Ketidakmampuan melakukan gerakan-gerakan normal dalam shalat bisa diganti dengan isyarat.
Kata Ibnu Taimiyah –rahimahullah, bahwa taklif (perintah, tugas) disyaratkan al qudrati `ala al ilmi wa al `amali (kemampuan pengetahuan dan amal). Bagi yang tidak mampu salah satunya, maka gugurlah bagian yang ia tidak mampu.” (Majmu` Fatawa)
Kedua, jika terdapat kekhawatiran yang dominan bila menunaikan shalat akan berakibat dlarar (bahaya) bagi keselamatan pasien, maka tidak boleh shalat di waktu itu.
Sebab, menjaga kemashlahatan jiwa didahulukan daripada kemashlahatan waktu shalat.
Dalam khazanah fiqih klasik madzhab Hanafi disebutkan bahwa dibolehkan menghentikan shalat bila khawatir ada serigala akan menerkam domba, atau ada orang buta yang hampir terjatuh ke dalam lobang.
Demikian juga bagi _‘dayah’_ (bidan/dukun bayi) yang sedang membantu persalinan bila dikhawatirkan membahayakan keselamatan ibu atau bayi, maka wajib baginya menghentikan atau menunda shalat (Maraqi al Falah Syarh Nur al Idhah).
Adapun rincian pendapat ulama klasik, mengingat persoalan spesifik (kasus dunia medis) belum terjadi saat itu, maka masalah di atas dianalogikan (qiyas) dengan situasi perang.
Dan terdapat empat pendapat:
Pertama, Malikiyah dan Hanabilah berpendapat keharusan shalat tepat waktu meskipun dilakukan dengan banyak gerakan, jalan, dan sebagainya. Yang penting tidak mengakhirkan shalat meskipun sebatas kemampuan.
Pendapat ini didasarkan pada:
- umumnya dalil tentang wajib shalat tepat waktu;
- qiyas (analogi) dengan shalat khauf (saat perang) yang juga diwajibkan tepat waktu;
- kata Ibnu Hazm, ulama sepakat bahwa shalat tidak gugur dan tidak boleh ditunda melebihi waktunya meskipun ada udzur. Dan saat itu shalat ditunaikan berdasar kemampuan: dengan duduk, berbaring, atau apa saja yang memungkinkan.
Kedua, madzhab Hanafiyah, saat perang berkecamuk tidak dibolehkan shalat hingga keadaan aman.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al Syaikhani (Imam Bukhari dan Imam Muslim), bahwa setelah perang Khandaq dan matahari sudah terbenam, Umar bin Khatthab lapor kepada Nabi:
“Ya Rasulallah, aku belum shalat ashar hingga matahari hampir terbenam. Rasulullah –shallallahu `alaihi wa sallama- menjawab: “Saya juga, demi Allah, belum shalat.”
Kemudian Rasulullah turun ke Bathan, berwudlu, dan shalat ashar setelah matahari terbenam, kemudian shalat maghrib.”
Madzhab ini tidak setuju dengan pendapat pertama, karena banyak gerakan lain dalam shalat bisa merusak shalat.
Ketiga, salah satu pendapat Imam Syafi`i, bahwa wajib shalat tepat waktu dalam peperangan. Kecuali bila perang berkecamuk, maka shalat dihentikan dan diulangi di saat kondisi aman.
Keempat, salah satu pendapat imam Ahmad, bahwa dalam kondisi perang, ada pilihan antara shalat tepat waktu sebatas kemampuan atau menunda dengan mengqadla` shalat.
Menyikapi perbedaan pendapat ini, penanya bisa kembali kepada dua kaidah di atas, dengan memperhatikan situasi tingkat kedaruratan pasien.
Wallahu a`lam bisshawab.
Malang, 20 Safar 1438H
?Join Telegram:
http://telegram.me/ahmadjalaluddin