Dari Said bin Huraits -radliyallahu anhu- berkata, Rasulullah -shallallahu
alaihi wa sallam- bersabda:
( مَنْ بَاعَ دَارًا أَوْ عَقَارًا فَلَمْ يَجْعَلْ ثَمَنَهَا فِي مِثْلِهِ كَانَ قَمِنًا أَنْ لَا يُبَارَكَ لَهُ فِيهِ )
“Barang siapa menjual rumah atau tanah, kemudian tidak menggunakan hasil penjualannya itu untuk membeli yang sejenisnya, maka dia tak layak mendapatkan berkah padanya” (HR. Ahmad, hadits hasan).
Aslinya, bumi itu dicipta oleh Allah -ta ala, diberkahi dan ditentukan padanya makanan-makanan bagi penghuninya (QS. Fushilat: 10). Karena itulah, menurut Abu Ja
far al Thahawi -rahimahullah, orang yang menjual tanah berarti menjual apa yang diberkahi oleh Allah. Bila hasil penjualan itu dirupakan selain tanah, maka berarti mengganti sesuatu yang diberkahi dengan yang tidak diberkahi.
Menurut Abdullah Ibrahim al Lahiidan, Guru Besar Fakultas Dakwah Jamiah al Imam, bahwa fiqih merupakan bekal bagi muslim dalam berinteraksi dengan harta dan bisnis. Fiqih yang dimaksud bukan hanya fiqih hukum yang berbicara tentang halal-haram, tapi juga fiqih tentang sunnatullah dalam untung-rugi, dan fiqih tentang pengalaman masa lalu.
Hadits yang diriwayatkan oleh Said bin Huraits di atas bicara tentang fiqih-fiqih itu.
Al Qursyi -rahimahullah- menulis dalam Al Kharaj bahwa Usman bin Madh
un -radliyallahu anhu- berkata,
“Aku dapati apa yang diucapkan oleh Ahli Kitab bahwa dalam Taurat tertulis ‘barang siapa menjual tanah dan tidak menjadikan hasil penjualan itu untuk membeli yang semisalnya, maka dia tak diberkahi.
Fiqih sunnatullah dalam untung-rugi, dijelaskan oleh Mula Ali al Qari -rahimahullah, yang berpendapat bahwa tidak dianjurkan menjual tanah atau rumah yang kemudian hasil penjualannya digunakan untuk membeli barang bergerak. Karena barang tak bergerak (tanah, rumah) memiliki banyak manfaat dan kecil risiko, kecil kemungkinan dicuri atau dirampas orang, berbeda dengan barang bergerak. Karenanya, lebih baik bila (tanah, rumah) tak dijual.Seandainya dijual lebih baik hasil penjualannya dirupakan yang semisalnya.
Adapun hukum yang dikandung, bahwa hadits ini tidak menunjukkan haramnya menjual tanah dan rumah, tapi berisi targhib (motivasi, dorongan) untuk mengelola tanah dan menjadikannya produktif. Hukum menjual tanah atau rumah ini berbeda-beda menurut situasi dan kondisi yang melatarinya.
Bagi yang memiliki tanah lebih atau rumah lebih dari yang dibutuhkan untuk diri dan keluarganya, tak mengapa menjualnya, demikian pula bila hasil penjualan itu digunakan untuk membeli yang sejenis.
Tetapi, bila seseorang sangat membutuhkan rumah atau tanah, kemudian ia menjual satu-satunya rumah yang ia butuhkan, tapi tidak menggunakan hasil penjualan itu untuk membeli yang sejenis, maka tak diberkahi.
Dan bila ia menjualnya untuk melunasi tanggungan hutangnya, maka yang demikian dibolehkan dan tidak termasuk dalam pengertian hadits di atas.
Dalam shahih Al Bukhari diriwayatkan bahwa Zubair bin Awwam -radliyallahu
anhu- memiliki tanggungan hutang yang besar, disamping properti yang dimilikinya juga banyak. Saat beliau wafat, sebagian rumah dan tanahnya dijual untuk melunasi hutang dan tanggungannya.
Wallahu a`lam bisshawab
Malang, 13 Dzulqa’dah 1440H