Menjual dengan Harga Berbeda dalam Pandangan Syariat Islam

Dr. H. Ahmad Djalaluddin, Lc., MA

Tak masalah dengan praktik menjual dengan harapan mendapat laba. Karena jual-beli adalah akad tijarah (bisnis) yang diperkenankan mencari laba. Pedagang bebas menentukan berapa besar laba yang diinginkan, mengingat tak ada batasan kuatitatif pada besaran laba. Bahkan Rasulullah –shallallahu `alaihi wa sallam- merestui Urwah bin al Ja`di al Bariqi –radliyallahu `anhu- yang mengambil laba hingga 100 persen.

Imam Al Bukhari –rahimahullah- meriwayatkan bahwa Nabi –shallallahu `alaihi wa sallam- memberi ‘Urwah bin al Ja`di al Bariqi –radliyallahu `anhu- uang satu dinar untuk membeli kambing. Dengan satu dirham itu Urwah bisa membeli dua ekor kambing.

Oleh ‘Urwah, satu ekor kambing dijual dengan harga satu dinar. Setelah itu ia datang kepada Nabi –shallallahu `alaihi wa sallam- dengan membawa satu dinar dan seekor kambing.
Nabi pun mendoakan ‘Urwah semoga jual belinya barakah. Dan seandainya uang itu dibelikan tanah, niscaya mendapat keuntungan pula”.

Meskipun ada kebebasan laba, Islam menetapkan batasan moralitas bahwa dalam penetapan laba tidak diperkenankan merugikan pasar atau pihak lain. “Kamu tidak mendhalimi dan tidak didhalimi” (QS. Al Baqarah: 279).

Bagaimana bila seorang pedagang menjual dengan harga yang berbeda pada orang yang berbeda?

Pada dasarnya, pedagang diharuskan menjual dengan harga yang berlaku di pasar. Apabila seorang penjual menetapkan harga yang berbeda, maka ada dua kemungkinan.

Pertama, menjual dengan harga lebih rendah dari yang berlaku di pasaran dengan tujuan membangun loyalitas konsumen. Praktik ini dibolehkan mengingat pedagang merelakan sebagian labanya untuk diberikan kepada pelanggan. Bahkan memberi kemudahan (termasuk kemudahan harga) sangat dianjurkan.
Akan tetapi, bila praktik menurunkan harga ini bertujuan merusak harga pasar atau menjatuhkan pebisnis lain, maka yang demikian terlarang.

Rasulullah –shallalahu `alaihi wa sallam- bersabda, “Jangan merugikan orang lain dan jangan dirugikan” (HR. Ibnu Majah)

Imam Al Bukhari dan Muslim –rahimahullah- meriwayatkan bahwa Rasulullah –shallallahu `alihi wa sallam- bersabda, “Muslim itu saudara bagi muslim lainnya. Ia tidak boleh mendhaliminya dan menghinanya”.

Kedua, menjual dengan harga di atas harga pasar. Pada praktik ini perlu ditinjau besaran dan selisih harganya. Apabila perbedaan dengan harga pasar tidak terlalu besar, maka tidak apa-apa, karena biasanya masyarakat memakluminya.

Akan tetapi bila selisihnya besar, seperti bila harga pasar Rp. 50.000,-kemudian pedagang menjual kepada A seharga Rp. 55.000,- tapi kepada B menjual dengan harga Rp. 90.000,- dan B tidak tahu harga, maka yang demikian tidak diperkenankan, sebab tergolong ‘khida` (penipuan). Dan apabila B mengetahui bahwa ia ditipu, ia berhak mengembalikan. B memiliki hak berupa ‘khiyar ghabn’, yaitu hak memilih untuk membatalkan atau melanjutkan transaksi disebabkan tertipu oleh harga yang tinggi yang ia tidak mengetahui sebelumnya.

Terkakhir, penting bagi pengusaha muslim bahwa bisnis itu tak semata material. Bisnis itu dunia akhirat. Dan hendaknya para pedagang menghayati bahwa laba sejati bukanlah laba material. Uang bisa datang dan pergi. Tapi, laba riil adalah ridla Allah –ta`ala, pertemanan, kepercayaan, dan reputasi.

Wallahu a`lam bisshawab

?????????
Malang, 21 Jumadil Tsani 1439H

You might like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.