Mengembalikan Hutang saat Inflasi

Pada dasarnya, melunasi hutang menggunakan mata uang yang sama. Rupiah dengan rupiah, real dengan real, dan dollar dengan dollar. Tidak diperkenankan menyepakati pengembalian hutang dengan mata uang yang berbeda pada saat akad berlangsung. Sebab, yang demikian adalah riba karena substansinya tukar-menukar uang dengan menunda serah terima. Tapi, bila tidak ada kesepekatan saat akad, dan saat pelunasan disepakati pengembalian dengan mata uang berbeda, maka boleh dengan mengacu pada kurs yang berlaku saat pelunasan, bukan kurs saat akad hutang-piutang berlangsung, serta dibayar lunas.

Pada era nubuwwah (kenabian) dan beberapa masa berikutnya, emas dan perak menjadi alat tukar dan penentu nilai. Pengembalian hutang tak menghadapi problem penurunan nilai mata uang, mengingat emas dan perak relatif stabil, sebab memiliki qimah dzatiyah (nilai fisik), dan terproteksi oleh kebijakan larangan menjadikan dinar-dirham sebagai komoditas bisnis. Berbeda dengan uang kartal yang rentan menghadapi inflasi, apalagi menjadi komoditas bisnis yang diperjualbelikan.

Bila terjadi inflasi, bagaimana mengembalikan tanggungan hutang? Karena, bila berpatokan pada kurs saat akad akan merugikan pihak yang berakad?

Dewasa ini, emas dan perak tak lagi menjadi alat tukar. Uang kartal mengganti fungsi mata uang emas dan perak. Meskipun tidak ideal, ulama mengakui uang kartal sebagai alat tukar resmi serta penentu nilai. Uang juga menjadi objek zakat dan diberlakukan atasnya hukum riba, sebagaimana emas dan perak.

Perbedaan karakteristik emas dan perak dengan uang ini berdampak dalam transaksi hutang-piutang, yang dapat dicatat dalam poin-poin berikut:

  • Bila objek hutang-piutang adalah emas, perak, atau komoditas yang memiliki padanan, maka pengembalian hutang dengan mengembalikan padanannya atau jenisnya. Sebab barang-barang ini memiliki qimah dzatiyah (nilai fisik), meskipun harga mengalami fluktuasi, nilai benda tidak berubah.

Dalam al Muhaddzab disebutkan, “Wajib bagi debitur mengembalikan yang sejenis atas objek (hutang-piutang) yang memiliki padanan. Karena esensi hutang piutang adalah raddu al mitsli (mengembalikan jenis)”.

  • Bila objek hutang piutang adalah uang kartal dan terjadi perubahan kurs, inflasi atau deflasi, maka para ulama berbeda pendapat:

Pendapat pertama, wajib mengembalikan yang setara (sejenis), tanpa menghiraukan perubahan nilai uang (kurs).

Pendapat ini didasarkan pada Al Maidah ayat 1, “Wahai orang-orang beriman penuhilah akad-akad”;   juga hadits,

“Jangan menjual emas dengan emas kecuali sebanding, dan jangan melebihkan sebagian atas sebagian yang lain. Jangan menjual perak dengan perak kecuali sebanding, dan janganlah melebihkan sebagian atas sebagian yang lain” (HR. Muslim).

Pendapat kedua (Abu Yusuf –rahimahullah), dalam akad jual beli yang diwajib dibayarkan adalah nilai yang setara pada saat akad berlangsung, sedangkan dalam hutang-piutang yang diwajib dibayarkan adalah nilai yang berlaku saat pelunasan.

Pendapat ini didasarkan pada Al An`am: 152, “Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil”; juga hadits, “Jangan merugikan orang lain dan jangan dirugikan”

Alasan lain, pembayaran dengan nilai akan mewujudkan keadilan dan sebagai langkah menghapus kedhaliman. Keadilan dalam kesetaraan terwujud dalam nilai.

Ketiga, salah satu pendapat ulama Malikiyah, bila perubahan kurs itu tinggi (mencapai sepertiga-dalam hadits disebutkan sepertiga itu banyak; tergolong high inflation dan hyper inflation), maka wajib mengembalikan nilai, tapi bila perubahan itu ringan-sedang, maka mengembalikan sejenis.

Menyikapi perbedaan ini, Majma` Fiqih Islam bekerja sama dengan Bank Islam Faishal di Bahrain menyelenggarakan Simposium Fiqih-Ekonomi tentang Problematika Inflasi di Jeddah pada 1999/1420 yang menghasilkan rekomendasi sebagai berikut:

  1. Bila ketika akad diperkirakan terjadinya inflasi, maka perubahan kurs tidak berdampak pada penyesuaian hutang. Dengan demikian pelunasan berdasar jenis, bukan nilai.
  2. Bila ketika akad tidak diprediksi terjadi inflasi dan kemudian terjadi inflasi, maka dilihat berat atau ringannya tingkat inflasi. Bila ringan, maka tidak ada penyesuaian sebab hukum asal mengharuskan mengembalikan jenis bukan nilai. Tapi, bila inflasi mencapai sepertiga (inflasi berat dan hiperinflasi), perlu dilakukan kesepakatan dan perdamaian antara kedua pihak (kreditur dan debitur) untuk berbagi atau mendistribusikan selisih dengan persentase yang disepakati bersama. Ibnu `Arafah –rahimahullah- sebagaimana dikutip di Mawahibu al Jalil menyatakan bahwa al shulhu (berdamai) itu dianjurkan, bahkan kadang bisa menjadi wajib bila dipastikan ada mashlahah.

Maktab al `Ilmi dari Hai`ah al Syaam al Islamiyah memilih hukum wajib berdamai antara kreditur dan debitur yang didasarkan pada:

  1. Dalil-dalil umum yang memerintahkan berbuat adil dan proporsional, serta melarang kedhaliman.
  2. Kaidah syar`i yang menyatakan keharusan menghapus dlarar yang menimpa diri dan orang lain.
  3. Hadits shahih tentang wadl`u jawaih, yaitu membebaskan pembeli dari tanggungan transaksi ketika terjadi bencana alam yang menimpa objek transaksi. Pesannya, tidak boleh merugikan dan membebani mitra transaksi.
  4. Menurut Ibnu Taimiyah –rahimahullah- bahwa dua harta dikatakan sejenis apabila memiliki nilai yang sama, dan bila berbeda nilai maka tidak disebut sejenis. Dengan demikian bila terjadi inflasi yang berat maka diperlukan perdamaian dan kesepakatan dengan mempertimbangkan nilai.
  5. Dalam kondisi inflasi yang berat (high dan hyper) bila tetap menyamakan dengan mata uang emas dan perak seperti yang berlaku di masa lampau, tidak sepenuhnya tepat. Karena emas dan perak tidak kehilangan nilai meskipun terjadi deflasi atau inflasi. Berbeda dengan uang kartal yang secara substansi tidak memiliki nilai, tapi nilai itu didapat melalui kekuatan hukum dan penerimaan masyarakat.

Ahmad As`ad Mahmud al Haj dalam disertasinya tentang Nadlariyah al Qardl fi al Fiqhi al Islami memilih pendapat saat terjadi inflasi yang tinggi harus mengembalikan nilai, bukan jenis, dengan alasan-alasan:

  1. Perintah wafa` bi al `uqud (memenuhi akad) menghendaki pemenuhan yang substansial, tidak sekedar formalitas. Maka, substansi dalam akad hutang piutang adalah komitmen debitur mengembalikan berdasar nilai, bukan jenis. Karena maksud dari nuqud (uang) adalah nilai bukan jumlah.
  2. Hadits-hadits yang mengharuskan jenis dalam pertukaran berhubungan dengan alat tukar yang berlaku pada saat itu, yaitu emas dan perak yang memiliki qimah dzatiyah (nilai fisik), berbeda dengan uang kartal yang nilainya berubah.
  3. Bagi yang mengharuskan pengembalian jenis, hendaknya menjelaskan makna ‘sejenis’ dalam istilah ulama klasik. Ibnu Abidin –rahimahullah- mengatakan bahwa al mitsli adalah bila masing-masing unsur tidak terdapat perbedaan nilai.” Sedangkan Imam al Ghazali –rahimahullah- berkata, “Batasan al mitsli (sejenis) adalah bagian dari subtansi (dzat) setara dalam manfaat dan nilai”.
  4. Mendasarkan pengembalian –saat inflasi yang tinggi- dengan nilai mendekati keadilan dan bisa menghindari kedhaliman. Maka, pendapat (yang mengharuskan kesamaan dan kesetaraan) itu ada pada nilai.
  5. Di tengah ketidakpastian ekonomi yang berdampak inflasi berat, mengharuskan pengembalian jenis yang sama akan berdampak kecenderungan menahan apa yang dimiliki dan enggan memberikan bantuan (hutang) kepada sesama.

 

Wallahu a`lam bisshawab

 

Sumber:

 

Ahmad As`ad Mas`ud al Haj, Nadlariyatul Qardl fi al Fiqh al Islami, Dar al Nafais, 1428-2008, hal. 275-279.

Rafiq Yunus Al Mashri, Fiqhu al Mu`amalat al Maaliyah, Dar al Qalam, Dimasyq, t.t. hal. 209-210.

Fatwa Al Maktab al Ilmi-Hai`ah al Syaam al Islamiyah, Kaifiyati Sadadi al Dunyun `Inda Taghayyuri al Qimah, http://islamicsham.org/fatawa/1778.

 

 

 

You might like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.