Oleh: Ustadz Dr. Ahmad Djalaluddin, Lc. MA.
“Untuk apa bekerja?”
Bila ada yang menjawab: untuk mendapat gaji, Salahkah?
Tidak. Justru Rasulullah menyalahkan para majikan yang memperkerjakan seseorang tapi enggan memberikan hak pekerja: gaji.
Dalam Shahih Bukhari disebutkan sabda Nabi Shallallahu `alaihi wa sallama bahwa di antara musuh Nabi kelak pada hari kiamat adalah orang yang memperkerjakan orang lain, tapi setelah selesai tugasnya, si pekerja tidak diberikan gajinya.
Apakah hanya gaji yang menjadi tujuan?
Pernah saat mengajar di depan kelas, saya bertanya kepada para mahasiswa. Bila kelak kalian bekerja, apa tujuan anda? Jawabannya beragam yang bermuara pada: mencari uang dan mengembangkan profesi. Tapi, ada yang menarik. Dari sekitar 35 mahasiswa ada satu orang yang menjawab: Ibadah
Bekerja adalah ibadah. Logika ibadah dalam kerja hanya dimiliki oleh Islam. Kerja profesi tidak diukur dengan standar materi. Berbeda dengan masyarakat kapitalis yang cenderung materialis, mekanisme kerja tidak bisa dilepaskan dengan materi. Bahkan materi menjadi ukuran kesuksesan.
Ukuran kerja sebagai ibadah adalah _mardhatillah_ dan _mahabbatullah._ Apakah kerja profesi yang ditekuni mampu mengundang ridha dan cinta Allah? Itulah *Syumuliyatu al ibadah* (ibadah dalam makna yang integral). Itulah makna pengabdian seutuhnya,
”Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al An`am: 162)
Bagaimana agar kerja menjadi ibadah dan berbuah surga?_ Dalam buku Al Ibadah fi al Islam disebutkan bahwa kerja yang bersifat duniawi, profesi, dan materi akan menjadi ibadah apabila memenuhi lima hal:
Pertama, pekerjaan itu masyru` (legal) dalam pandangan Islam. Adapun profesi dan pekerjaan yang tidak selaras dengan Islam bahkan yang bertentangan dengan Islam, tidak dianggap ibadah. Karena Allah itu baik dan hanya menerima yang baik.
Kedua, pekerjaan itu diiringi dengan niat yang baik. Niat menjaga kehormatan diri. Niat memenuhi kebutuhan keluarga. Niat memberi manfaat bagi umat. Dan niat memakmurkan bumi.
Ketiga, pekerjaan itu ditunaikan dengan sebaik mungkin, profesional atau itqan. Karena Allah menyukai hamba yang bekerja dengan itqan.
Keempat, menjaga batas dan aturan Allah dalam pekerjaan dan profesi yang ditekuni. Tidak berbuat dhalim. Tidak mengkhianati mitra. Tidak menipu. Dan tidak melanggar hak orang lain.
Kelima, kesibukan kerja dan menekuni profesi tidak membuat diri melupakan kewajiban kepada Allah. Meskipun sibuk bekerja, ia tetap berdizikir, ia tetap shalat bila waktunya tiba, tetap berzakat saat hartanya mencapai nishab.
Itulah kerja yang tergolong ibadah dan berbuah surga bi idznillah.
Malang, 22 Muharram 1438H. Dengan harapan terkabulnya doa Nabi: “Ya Allah, berkahilah umat-ku di waktu pagi mereka ….”(HR. Ibnu Majah, Shahih)