Saudi Arabia, Oktober 2010. Philip Kotler menyampaikan ceramah tentang teori mutakhir marketing.
Kata Kotler, “Ketika saya mengembangkan teori baru ‘al taswiq al tsaalits, marketing ke-3” melalui nilai dan prinsip (al qiyam wa mabadi
), saya tak banyak tahu tentang Islam. Tetapi, saya menemukan bahwa teori yang saya kembangkan itu (ternyata) selaras dengan prinsip syariah Islam dan transaksi-transaksi islami. Inilah refleksi integrasi yang sempurna antara teori baru saya dengan ajaran muamalah dalam Islam” (Tarek Belhadj, 2012, Al Mafhum al Taswiqi al Hadiits-Wijhah Nadhar Islamiyah).
Ternyata, Kotler bangga ketika mendapati teorinya selaras dengan konsep Islam. Secara tak sengaja, pakar marketing itu menghadirkan Al Quran dalam kehidupan nyata, melalui teori dan ilmu yang ia kembangkan. Kotler mampu menangkap bahwa Al Qur
an adalah kitab kehidupan.
Al Quran menantang umat Islam, “Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (Al Nahl: 89).
Tantangannya adalah jangan tergesa-gesa mengatakan bahwa tak ada konsep ekonomi, politik, sosial dalam Islam. Tapi, curahkanlah segenap daya dan upaya agar terbukti bahwa ‘apa saja’ ada dalam Al Quran.
Abdul Fatah M. Shalah, praktisi dan konsultan bisnis Islami, menjawab tantangan itu. Ia ingin membuktikan bahwa Al Quran, secara global atau rinci, tekstual atau kontekstual memuat segala hal tentang kehidupan, termasuk marketing.
Bagi Abdul Fattah, marketing yang merupakatan aktifitas insani, mengandung konsep-konsep inti seperti; kebutuhan, keinginan, permintaan, produksi, utilitas, nilai dan kepuasan, pertukaran, transaksi dan hubungan pasar, pemasaran dan pasar. Seperti halnya Kotler yang menyatakan bahwa marketing tidak semata interaksi dengan manusia sebagai konsumen, tapi interaksi dengan ‘basyar’ yang memiliki akal, hati, dan ruh. Maka, Al Quran sesungguhnya banyak menyinggung konsep-konsep itu serta memuat cara terbaik dalam berinteraksi dengan manusia, bukan sebagai konsumen, tapi sebagai hamba yang memiliki akal, hati, dan ruh.
Sebagai contoh, Al Kahfi: 19 menyebutkan, “…Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun”.
Ayat ini memuat banyak mufradat (kosa kata) yang berhubungan dengan dunia marketing serta tata cara berinteraksi dengan sesama. Yaitu,
a. “Maka suruhlah salah seorang di antara kamu”, menunjukkan peran unit pengadaan.
b. “dengan membawa uang perakmu ini”, yaitu uang perak yang tertera di dalamnya gambar Raja Diqyanus yang dhalim, sebagai alat tukar dalam bisnis.
c. “untuk pergi ke kota”, yang dimaksud adalah pasar yang ada di kota.
d. “Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini”.
Kalimat ini menjelaskan adanya permintaan riil yang didukung kemampuan daya beli (tak hanya ungkapan kebutuhan), yang berbanding dengan penawaran di pasar.
e. “dan hendaklah dia lihat”, menunjukkan makna shopping (amaliyat tasawwuq) yang berarti mencermati beberapa komoditas dan beberapa penjual, untuk memilih yang paling menarik.
f. Kata ‘ayyuha’ yang berarti ‘manakah’, memberikan kesan diferensiasi dan seleksi di antara alternatif yang ditawarkan di pasar yang memenuhi kebutuhan pembeli (klien), dan yang sesuai dengan kemampuan daya belinya.
g. ‘Azka thaaman’, makanan yang lebih baik. Bermakna makanan yang thayib, halal, banyak, tapi harga terjangkau. Karena yang haram tak disebut makanan, yang sedikit tidak memuaskan, dan bila terlalu mahal maka berarti boros mengingat uang yang terbatas.
h. ‘maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu’, terbayang proses mengumpulkan barang yang dibeli, mengemas, kemudian membawanya untuk dinikmati, sehingga tercapai manfaat spasial (manfa`ah makaniyah) melalui transportasi.
i. Kata ‘birizqin minhu’, berarti jika makanan itu diperoleh melalui transaksi dan pertukaran yang legal (masyruah), maka itulah rizki yang barakah dan bermanfaat, meskipun sedikit.
j. ‘hendaklah ia berlaku lemah-lembut’, mengindikasikan bahwa lemah lembut dengan vendor di pasar menjadi unsur penting bagi unit pengadaan agar mendapat barang terbaik dengan harga dan kondisi yang baik pula.
Itulah salah satu contoh ajaran eksplisit marketing qurani melalui Al Kahfi: 19. Penting bagi akademisi dan praktisi bisnis islami merujuk kepada Al Quran sebagai kitab kehidupan. Harapannya, tumbuh keyakinan dan lahir rasa bangga kepada kitab sucinya, sebelum kagum kepada Kotler dan teman-temannya.
Wallahu alam bisshawab
Malang, 7 Syawal 1440H