Konsultasi – Hukum Menyekolahkan SK PNS

Assalaamu’alaikum Ustadz

Saya memiliki seorang teman yang telah diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil di luar kota Malang. Sebagaimana umumnya PNS yang telah memiliki SK, teman saya juga ikut “menyekolahkan” SK nya agar dapat “dana segar” sehingga bisa dipakai untuk mencicil mobil. Yang ingin saya tanyakan ustadz, bagaimanakah hukum dan solusi menyikapi budaya “menyekolahkan” SK untuk mencicil suatu barang?
Terima kasih atas penjelasannya ustadz

Hr_Malang

Jawab

Al Quran al Karim melalui surat Al Baqarah 282-283 mengharuskan adanya bukti konkrit dalam akad-akad yang tidak tunai (tautsiqu al dayn).
Menurut jumhur ulama’, untuk membuktikan transaksi yang tidak tunai itu, pihak-pihak terkait bisa memilih apakah menggunakan catatan, saksi, barang jaminan, atau penjamin. Bila salah satu dari bukti transaksi itu dipenuhi, maka sudah menyukupi bagi sahnya suatu akad yang tidak tunai.

Dalam praktik perbankan, dipastikan bahwa semua transaksi dilakukan secara tercatat dengan rinci dan detail bahkan melibatkan notaris atau yang diistilahkan oleh Al Baqarah 282 dengan sebutan kaatib (penulis). Bahkan juga melibatkan saksi dari pihak keluarga (suami/istri) dan pihak perbankan. Karena itu, meskipun tidak ada barang jaminan atau penjamin, transaksi tidak tunai itu sudah menyukupi.

Apabila pihak perbankan menetapkan syarat tambahan berupa SK ASN untuk menguatkan bukti transaksi, maka berdasar kaidah hukum asal muamalah adalah boleh keculai bila ada dalil yang melarangnya.

Tetapi SK ASN itu statusnya hanya sebagai penguat, bukan sebagai jaminan (marhun). Fungsi SK ASN hanya untuk menunjukkan bahwa debitur memiliki potensi anggaran yang akan digunakan untuk melunasi tanggungannya.
SK ASN tidak memenuhi syarat fiqih sebagai jaminan. Karena kriteria marhun (barang jaminan) menurut jumhur ulama adalah berupa barang yang memiliki nilai ekonomis, mudah dijual, diketahui dengan jelas dan pasti, bisa diserahterimakan, bisa dipegang, bisa dikuasai, dan sebagainya. Dan yang lebih penting adalah apabila debitur tidak mampu melunasi atau wanprestasi maka jaminan itu bisa dijual.

Syarat-syarat ini tidak terpenuhi pada selembar SK, apalagi SK tidak mungkin dijual kepada orang lain untuk melunasi tanggungan uang. Bahkan akan bermasalah kalau SK dijual, karena berarti menjual (potensi) uang dengan uang yang tidak memenuhi kriteria akad sharf yang syari.

Demikian pula, SK ASN bukan sebagai bukti bahwa pemerintah menjadi penjamin atas transaksi yang tidak tunai yang dilakukan oleh pemegang SK itu. Karena faktanya, pemerintah tidak pernah memberikan jaminan kepada para pegawainya yang melakukan transaksi yang tidak tunai. Pemerintah juga tidak pernah mengeluarkan dana untuk menjamin para ASN yang meninggal atau mengalami kredit macet.

Jadi, transaki antara ASN dengan perbankan dikatakan cukup bila dilakukan secara tertulis atau dengan menghadirkan saksi, meskipun tanpa menyertakan SK ASN. Dan bila ada tambahan syarat menyertakan SK ASN, maka statusnya hanya sebagai penguat, bukan sebagai jaminan (marhun) dan bukan sebagai bukti adanya penjaminan oleh pemerintah.

Yang menjadi persoalan kemudian adalah di mana ASN itu melakukan transaksi, apakah di bank konvensional atau bank syariah? Karena terkait dengan status bunga yang oleh Fatwa Dewan Syariah Nasional dikatakan identik dengan riba yang dilarang.

Wallahu a`lam bisshawab

Malang, 7 Jumadil Akhir 1440H

You might like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.