Nafkah berasal dari kata ‘infaq’ (belanja). Arti dasar kata itu adalah al ikhraj (mengeluarkan) dan al nafaad (habis).
Arti istilah nafkah adalah menyukupi (kebutuhan) orang-orang yang menjadi tanggungan dengan cara yang patut, baik berupa pangan, sandang, papan, dan lainnya.
Dalam fikih, dikenal beberapa macam nafkah, yaitu: nafkah untuk diri sendiri, untuk orang tua, untuk anak, dan nafkah suami untuk istri.
1) Nafkah untuk diri
Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Awali untuk dirimu, bila ada lebih maka untuk keluargamu, dan bila ada lebih maka untuk kerabatmu” (HR. Muslim).
2) Nafkah untuk anak
Allah -ta’ala- berfirman, “Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut” (QS. Al Baqarah: 233)
Aisyah -radliyallahu ‘anha- meriwayatkan bahwa Hindun -radliyallahu ‘anha- berkata, “Ya Rasulallah, Abu Sufyan pelit. Ia tidak memberiku (nafkah) yang cukup untukku dan anakku, kecuali aku ambil dari hartanya tanpa sepengetahuan Abu Sufyan”. Rasulullah menjawab, “Ambillah yang cukup untukmu dan anakmu secara patut” (HR. Bukhari dan Muslim).
3) Nafkah untuk orang tua
Allah -ta’ala- berfirman, “dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik..” (QS. Luqman: 15).
Dalam surat Al Isra’ 23 disebutkan, ” “hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak”.
Memberi nafkah kepada orang tua tergolong berbuat ihsan yang diperintahkan.
Aisyah -radliyallahu ‘anha- meriwayatkan hadits Nabi, “Sungguh makanan terbaik yang dinikmati seseòrang adalah yang diperoleh dari hasil usahanya. Dan anak merupakan hasil upaya orang tuanya” (HR. Turmudzi dan Abu Daud).
Amru bin Ash -radliyallahu ‘anhu- berkata bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Kamu dan hartamu untuk orang tuamu. Sungguh anak-anakmu adalah hasil usaha baikmu. Makanlah dari hasil usaha anak-anakmu” (HR. Abu Daud).
4) Nafkah untuk istri
Suami berkewajiban menafkahi istri. Allah -ta’ala- berfirman, “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya” (QS. Al Nisa’: 34)
Jabir -radliyallahu ‘anhu- meriwayatkan hadits Nabi yang menyebutkan di dalamnya, “Para istri berhak atas nafkah dan pakaian yang baik yang menjadi kewajiban kalian (para suami)” (HR. Muslim)
Nafkah yang wajib diberikan kepada istri ini berlaku selama dalam ikatan pernikahan. Demikian juga bagi istri yang ditalak yang masih berada dalam masa iddah, yang masih ada peluang ruju’, berhak atas nafkah.
Adapun istri yang ditalak tiga, yang tidak lagi diperkenankan ruju’ kecuali dengan syarat tertentu, tak lagi berhak atas nafkah, kecuali bila dalam kondisi hamil.
Wallahu a’lam bisshawab
Banjarmasin, 24 Shafar 1440H