Kata `iqtishad’ diterjemahkan menjadi ekonomi. Al iqtishad al Islamy berarti ekonomi Islam. Akar kata iqtishad adalah qashada-yaqshudu-qashdan. Qashdu bermakna al wasthu baina al tharfaini berarti pertengahan antara dua sisi; tidak berlebihan dan tidak abai, tidak kikir dan tidak boros.
Kata iqtishad bentuk mashdar dari iqtashada-yaqtashidu-iqtishadan-muqtashid-muqtashad yang berarti hemat, moderat, tidak berlebihan, seimbang, tegak, dan adil. Dalam hadits disebutkan:
السَّمْتُ الْحَسَنُ وَالتُّؤَدَةُ وَالِاقْتِصَادُ جُزْءٌ مِنْ أَرْبَعَةٍ وَعِشْرِينَ جُزْءًا مِنْ النُّبُوَّةِ
“Perangai yang baik, sikap kehati-hatian dan tidak berlebihan (iqtishad) merupakan bagian dari dua puluh empat bagian kenabian” (HR. Tirmidzi, Hadits Hasan Gharib).
Al Qur`an menyebutkan beberapa kata yang se-akar dengan iqtishad, seperti waqshid fi masyyika (sederhanalah/tegaklah dalam berjalan dan hindari kesombongan, Luqman: 19); qashdu al sabil (jalan yang lurus, Al Nahl: 9); ummatun muqtashidah (ummat pertengahan, Al Maidah: 66); fa minhum muqtashid (mereka yang menempuh jalan yang lurus, Luqman: 32); wa minhum muqtashid (di antara mereka ada yang pertengahan, Fathir: 32).
Jadi, iqtishad itu tawassuth (pertengahan), tawazun (keseimbangan), `adlu (keadilan), i`tidal (tegak, lurus, dan tidak sombong).
Tawassuth-wasathy (pertengahan) menjadi ciri iqtishad. Karena itu iqtishad islami berbeda dengan kapitalis yang individualistis, juga berbeda dengan sosialis yang kolektivis. Islam mengakui kepemilikan pribadi sekaligus menegaskan bahwa dalam kepemilikan ada fungsi sosial.
Tawazun (keseimbangan) menegaskan bahwa iqtishad tak hanya berdimensi maadiy (material), tapi juga ruhy-ukhrawi (spiritual-transendental). Bahkan amal ruhy menjadi dasar bagiamal maady guna tercapai tazkiyah dan barakah dalam kekayaan dan kesejahteraan.
`Adlu (keadilan) menjadi pilar utama iqtishad menghendaki tindakan proporsional dalam hak dan kewajiban. “Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu” (Al Rahman: 8-9).
Adil berarti tidak ada kedhaliman dalam semua aktifitas isqtishadiyah: distribusi kekayaan primer (natural resources), produksi, distribusi kekayaan sekunder (hasil produksi), konsumsi, dan pertukaran.
I’tidal (tegak dan lurus) mengharuskan komitmen pada kebenaran sikap dan tindakan yang berdasar qashdu al sabil (jalan lurus). Kata Al Munawi -rahimahullah- alqashdu adalah jalan lurus, begitu pula dengan al iqtishad yang bermakna tidak ifrath (ekstrim) dan tidak tafrith (abai), tidak israf (berlebihan) dan tidak taqtir(kikir). Prinsip i`tidal berarti menjaga yang halal-thayyib dan menghindari yang haram dan yang khabaits (buruk).
Bila substansi iqtishad itu tawazun, tawassuth, `adil dan i`tidal, maka iqtishad berbeda dengan ekonomi. Karena ekonomi adalah ilmu yang mengaji faktor-faktor yang memengaruhi kesejahteraan material, penambahan kekayaan masyarakat dan solusi atas problematika produksi dan distribusi. Atau ekonomi adalah ilmu yang mengaji perilaku manusia dalam memecahkan problematika ekonominya.
Sedangkan iqtishad islami menurut Chapra adalah suatu cabang pengetahuan yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber-sumber daya langka yang seirama dengan maqashid (tujuan-tujuan syari`ah), tanpa mengekang kebebasan individu …”.
Dengan demikian iqtishad islami adalah instrumen untukmemakmurkan bumi (‘imarat al ardl), instrumen untuk hifdhu al maali (melindungi kekayaan), dan instrumen untuk menjaga status manusia sebagai obyek taklif (hamba Allah, homo Islamicus). Atau kata Syauqi Al Fanjari bahwa iqtishad Islami merupakan ajaran dakwah yang menyeruh pada perbaikan situasi dan kondisi, membebaskan masyarakat dari penjajahan dan dominasi asing, serta menghidupkan Islam dalam bidang iqtishad.
Wallahu a`lam bisshawab
Malang, 25 Jumadil Tsani 1439H