Dr. Ahmad Djalaluddin, Lc., MA
Ramadhan berlalu, shiyam & qiyam telah tertunaikan. Siklus ibadah menghendaki bahwa saat ibadah ditunaikan, harus hadir di dalamnya ikhlashu al niyyat & mutabaatu al rasul (niat ikhlas dan meneladani Rasulullah -shallallahu
alaihi wa sallam). Kemudian, setelah ibadah ditunaikan, harus ada pembuktian bahwa dengan ibadah itu para hamba mampu menggapai maqashidnya atau tujuannya.
Ketika Allah -taala- menyatakan bahwa di balik ibadah-ibadah Ramadhan ada tujuan-tujuan: ‘la
allakum tattaquun, laallakum tasykuruun, dan la
allahum yarsyuduun, maka Allah menghendaki pasca Ramadhan para hamba-Nya menjadi pribadi yang bertakwa, pandai bersyukur, dan komitmen pada jalan yang benar.
Pasca Ramadhan, mukmin yang bertakwa lebih berhati-hati dalam menapaki kehidupan, sebagaimana disebutkan dalam dialog antara Abu Hurairah -radliyallahu anhu- dengan seseorang yang bertanya kepadanya,
“Apakah takwa itu?”
Abu Hurairah: “Pernahkah kau melewati jalan yang berduri? Apa yang kau lakukan?”
Orang itu menjawab, “Saat ku lihat duri, maka aku hindari. Dan kaki ku tapakkan di tempat yang tak ada duri”.
Abu Hurairah, “Itulah takwa”.
Pasca Ramadhan ini, mukmin yang bersyukur berhati-hati dalam memanfaatkan karunia Allah -ta
ala. Karena itu mukmin yang bersyukur menegaskan bahwa apapun yang diterima adalah sarana untuk beribadah dan untuk memberi manfaat kepada sesama, bukan untuk maksiat atau merusak kehidupan dan persaudaraan.
Pasca Ramadhan, mukmin yang komitmen pada kebenaran akan berusaha mempertahankan jalan hidayah yang ia temukan, dan tak ingin menyimpang dari kebenaran ajaran Allah -taala.
Itulah makna kembali fithri, dimana setelah menjalani ibadah di bulan suci Ramadhan, para hamba meraih takwa, syukur, dan menepati kebenaran. Hidup mukmin akhirnya menjadi bersih. Hubungan dengan Allah kembali bersih karena Allah -taala- mengampuni dosa-dosa yang telah lalu.
Tapi, bersih diri di hari ini belum sempurna karena perbaikan hubungan tak hanya antara hamba dengan Allah -taala. Ada dosa dan salah yang tak terhapus dengan ibadah dan amal-amal ritual, yaitu dosa dan salah yang berhubungan dengan sesama. Ada kedhaliman terhadap diri orang-lain, terhadap kehormatan orang lain, terhadap harta orang lain yang juga harus dibersihkan.
Karenanya setelah mendapat ampunan Allah -taala, langkah berikutnya adalah mengikuti pesan Nabi Muhammad -shallallahu `alaihi wa sallam- berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لأَخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا، فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلا دِرْهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ لأَخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ (رواه البخاري 6053)
“Barang siapa pernah berbuat dhalim kepada saudaranya, hendaknya meminta orang tersebut menghalalkan dirinya dari perbuatan aniaya tersebut hari ini sebelum datang hari tidak ada uang dinar dan dirham. Apabila ia memiliki amal shalih, maka akan diambil amal shalih darinya sebanding dengan perbuatan kedhalimannya. Apabila tidak memiliki amal shalih, maka akan diambilkan dosa saudaranya dan dilimpahkan kepada dirinya”.
Bersih diri dalam hubungan dengan Allah -taala- dan bersih dalam hubungan dengan manusia adalah modal berharga. Modal bagi kita untuk berbisnis dengan Allah -ta
ala. Berbisnis mengisi kehidupan guna meraih kebaikan masa depan.
Ibaratnya, pasca idul fithri ini, kita kembali memulai bisnis dari nol dengan Allah -taala. Allah -ta
ala- kembali mengundang hamba-hamba-Nya yang bersih untuk merespon ayat-ayat bisnis berikut:
“Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang beriman jiwa dan harta mereka …” (QS. Al Taubah: 111)
“Wahai orang-orang beriman, maukah kamu Aku tunjukkan pada bisnis yang menyelamatkan kamu dari adzab yang pedih…” (QS. Al Shaf: 10)
Sekarang, dalam kondisi nol dosa, nol salah kita mulai berbisnis dengan Allah -taala- berbekal modal yang kita miliki. Waktu, kesehatan, harta, jabatan, ilmu adalah kumpulan modal yang kita gunakan untuk berniaga dengan Allah -ta
ala.
Bagi pedagang, rugi tak hanya bila biaya yang dikeluarkan lebih besar daripada pendapatan. Tapi, pedagang merasa rugi bila modal yang dimiliki ‘nganggur’, tak diputar dalam bisnis. Begitu pula dalam bisnis kehidupan dengan Allah, segala potensi yang dimiliki manusia bila tak digunakan untuk amal-amal shalih berarti rugi, apalagi bila segala nikmat dan potensi digunakan untuk bermaksiat kepada Allah.
Abdul Aziz al Muhammad Salman dalam Kitab Iqadhu al Himami al `Aliyah menulis:
“Tiga golongan yang paling rugi kelak di hari kiamat:
(1) Seseorang yang memiliki pembantu (staf, bawahan, karyawan), tapi ternyata pembantu (stafnya, pegawainya)nya lebih baik amalnya dibanding sang majikan;
(2) orang yang memiliki harta tapi tidak disedekahkan, ia pun mati dan hartanya diwarisi orang lain, dan ternyata orang yang mewarisi harta ini menyedekahkan hartanya;
(3) orang yang memiliki ilmu tapi tidak menerapkan ilmunya itu. Saat ilmu ini diajarkan kepada orang lain, ternyata yang diajari ini menerapkan ilmu itu.
Karena itu, agar bisnis dengan Allah pasca Ramadhan ini sukses dan beruntung, ada beberapa hal yang patut kita lakukan:
Pertama, Niatkan segala potensi yang dimiliki untuk Allah dan untuk kebaikan.
Allah -taala- tak melarang hamba-Nya memiliki harta, bahkan mendorong kaum muslimin agar giat bekerja mencari karunia-Nya. Bahkan Islam mengharapkan agar tiap muslim berdaya sehingga mampu berzakat dan menunaikan ibadah haji yang berbiaya tinggi.
Allah -taala- tak melarang hamba-Nya menjabat dan menjadi pemimpin, bahkan mengajari doa agar umat Islam menjadi pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa. Islam tak melarang umatnya berilmu, bahkan mewajibkan kaum muslimin agar menuntut ilmu dan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu.
Agar segala yang dimiliki ini (harta, jabatan, ilmu) mampu memberi arti lebih bagi kehidupan muslim, Al Quran menghendaki agar semuanya diniatkan untuk Allah dan untuk kebaikan. Sebagaimana ikrar harian yang kita tegaskan, “Sesungguhnya shalatku dan ibadahku, hidup dan matiku, (termasuk di dalamnya adalah diriku, hartaku, jabatanku, ilmuku) hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam”.
Rasulullah memberikan petunjuk teknis tentang meniatkan segala potensi untuk Allah dalam sabdanya berikut:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنِ احْتَبَسَ فَرَسًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِيمَانًا بِاللَّهِ، وَتَصْدِيقًا بِوَعْدِهِ فَإِنَّ شِبَعَهُ وَرِيَّهُ، وَرَوْثَهُ، وَبَوْلَهُ فِي مِيزَانِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ "
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata: Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Barangsiapa menahan (meniatkan) seekor kuda di jalan Allah dengan keimanan dan membenarkan janji-Nya, maka kenyangnya kuda itu, kotorannya, dan air kencingnya akan ada di dalam timbangan (miizaan) kebaikannya kelak di hari kiamat” (HR. Al-Bukhari).
Kedua, Gunakan dan manfaatkan segala potensi yang dimiliki sebagaimana fungsi yang dikehendaki oleh Allah -ta
ala.
Apabila memiliki harta, gunakanlah untuk mengkonsumsi yang halal dan thayyib; bersihkanlah harta itu dengan menunaikan zakatnya, dan investasikan dalam bidang usaha yang diridhai oleh Allah -taala.
Bila memiliki ilmu, gunakanlah untuk melakukan perbaikan-perbaikan, bukan untuk merusak kehidupan. Ajarkan dan terapkan ilmu itu agar menjadi ilmu bermanfaat yang mengalirkan pahala.
Bila memiliki jabatan, gunakanlah sebagai sarana melayani masyarakat, gunakan untuk menolong agama Allah, dan gunakan untuk memudahkan rakyat dalam menunaikan kewajibannya kepada Allah -taala.
Bila memiliki fisik dan tenaga yang kuat, manfaatkan untuk menunaikan hadits Nabi -shallallahu alaihi wa sallam:
“Jika dia bekerja untuk anaknya yang masih kecil, maka terhitung di jalan Allah, dan jika dia bekerja untuk kedua orang tuanya, maka terhitung di jalan Allah, dan jika dia bekerja untuk dirinya sendiri dalam rangka iffah (menjaga kehormatan diri), maka terhitung di jalan Allah.” (HR. Al-Imam Athobraany, Shahih li Ghairihi)
Ketiga, segala potensi yang dimiliki, modal yang ada, fasilitas yang tersedia; harta, ilmu, jabatan, kekuatan fisik, jangan membuat lupa kepada Allah -taala.
رِجَالٌۭ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَـٰرَةٌۭ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ ٱللَّهِ وَإِقَامِ ٱلصَّلَوٰةِ وَإِيتَآءِ ٱلزَّكَوٰةِ ۙ يَخَافُونَ يَوْمًۭا تَتَقَلَّبُ فِيهِ ٱلْقُلُوبُ وَٱلْأَبْصَاٰرُ
“Orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang” (QS. Al Nur: 37).
Keempat, Jangan menggunakan segala potensi yang dimiliki untuk mendhalimi orang lain.
Saudara-saudarku yang diberi amanah harta oleh Allah, dengan hartamu yang banyak itu, jangan mendhalimi orang lain. Jangan mengambil harta orang lain dengan cara yang batil. Jangan merugikan orang lain.
Saudaraku, fisikmu yang kuat itu, badanmu yang tegar itu, jangan digunakan untuk mendhalimi saudaramu. Jangan melukai orang lain. Jangan menyakiti sesama.
Saudaraku yang sudah dipilih oleh rakyat, para pejabat, para pemimpin, ingatlah jabatan dan kepemimpinan yang melekat pada dirimu itu adalah amanah, Jangan mendhalimi rakyat, meskipun mereka dulu tak memilihmu. Jangan mengambil hak-hak mereka, karena kelak mereka akan menuntutmu.
Jangan berbuat dhalim kepada siapapun, karena kedhaliman itu dhulumaaat (kegelapan) di hari kiamat. Karena kedhaliman menjadi sebab bangkrutnya bisnismu dengan Allah -taala.
Seperti dikatakan oleh Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam:
“Apakah kalian tahu siapa muflis (orang yang pailit) itu?” Para sahabat menjawab,”Muflis (orang yang pailit) itu adalah yang tidak mempunyai dirham maupun harta benda.” Tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Muflis (orang yang pailit) dari umatku ialah, orang yang datang pada hari Kiamat membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun (ketika di dunia) dia telah mencaci dan (salah) menuduh orang lain, makan harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain (tanpa hak).
Maka orang-orang itu akan diberi pahala dari kebaikan-kebaikannya. Jika telah habis kebaikan-kebaikannya, maka dosa-dosa mereka akan ditimpakan kepadanya, kemudian dia akan dilemparkan ke dalam neraka” (Shahih Ibnu Hibban).
Itulah startup yang berkah dan beruntung pasca bulan Ramadhan. Kembali merintis bisnis dengan Allah -taala- dengan meniatkan segala yang dimiliki untuk Allah dan untuk kebaikan, memanfaatkan segala yang ada untuk amal shalih, apa yang ada tidak membuat lupa kepada Allah dan kewajiban agama, serta tidak menggunakan potensi yang dimiliki untuk mendhalimi orang lain.
***