Imam Al Bukhari -rahimahullah- meriwayatkan kisah hijrah. Bahwa di perjalanan menuju Madinah, Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- dan Abu Bakar Asshiddiq -radliyallahu
anhu- beristirahat. Dua orang mulia itu merasa sangat haus.
Abu Bakar melihat seorang pengembala kambing yang lewat. Abu Bakar meminta susu kepada si pengembala. Setelah memerah, susu dibawa kepada Nabi dan berkata, “Minumlah, wahai Rasulullah!”
Rasulullah meminumnya dan Abu Bakar berkata: “Hatta radhiitu…” (sampai aku puas melihat Rasulullah minum).
Rasulullah meminum susu, Abu Bakar merasa puas. Itulah cinta, itulah syukur, dan itulah iman yang sempurna.
Cinta, syukur dan iman yang sempurna ditandai oleh rasa senang, puas, dan gembira saat melihat saudara, teman, orang lain mendapat nikmat.
Bila dalam hati ada cinta, ada syukur, dan ada iman yang sempurna, maka saat melihat orang lain memperoleh nikmat (jabatan, harta, prestasi, dan sebagainya), hati akan merasa senang, puas, dan plong.
Bila dalam hati tak ada cinta, tak ada syukur, dan tak ada iman yang sempurna, saat melihat orang lain memperoleh nikmat (jabatan, harta, prestasi, dan sebagainya), hati akan berisi iri, dengki, galau, sumpek, dan sesak.
“Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya” (Muttafaq alaihi)
Dan Rasulullah -shallalahu alaihi wa sallam- mengajarkan doa harian, “Ya Allah, apa saja nikmat yang aku terima dan diterima orang lain adalah dari-Mu semata. Tak ada sekutu bagi-Mu. Maka bagi-Mu segala puji dan bagi-Mu segenap syukur” (Shahih Ibnu Hibban)
Wallahu a’lam bisshawab
Malang, 2 Muharram 1441H