Hijrah berasal dari kata hajrun yang berarti tarkun (meninggalkan). Hijrah juga berarti intiqal, berpindah. Secara material, hijrah berarti migrasi dari satu tempat ke tempat lain, seperti hijrah Nabi -shallallahu alaihi wa sallam- dari Mekkah menuju Madinah.
Hijrah juga memiliki makna spiritual. Hadits shahih menyebutkan bahwa muhajir adalah orang yang meninggalkan keburukan. Makna spiritual dari hijrah adalah meninggalkan jahiliyah menuju Islam; syirik menuju tauhid, maksiat menuju taat, batil menuju yang haq, dan meninggalkan yang haram menuju halal.
Implementasi makna spiritual hijrah ini melahirkan fenomena hijrah maudlu
iyyah, hijrah tematik. Hijrah maudluiyyah tampak pada gerakan dan aktifitas pada aspek tertentu dari aspek-aspek kehidupan yang luas. Seperti,
- Hijrah dari tak berhijab menuju hijab, tapi yang ditutupi hanya kepala, sedangkan bagian yang lain belum tertutup, dan masih terasa ‘aroma maksiat’ dalam hubungan dengan lawan jenis.
- Hijrah dari bunga menuju bisnis tanpa riba, hijrah dari produk haram menuju produk halal, hijrah dengan mengutamakan produk umat (domestik).
- Hijrah pribadi tapi tak diikuti oleh keluarga. Lahir kesadaran berakidah yang lurus dan beribadah yang benar, tapi sebatas pribadi, sedangkan istri dan anak-anak belum mengikuti langkah-langkah hijrah.
- Hijrah dari ‘tak sunnah’ menuju sunnah, tapi sebatas sunnah
ubudiyah, sedangkan praktik muamalah bisnisnya, muamalah sosialnya, muamalah politiknya, belum seutuhnya mengikuti sunnah.
– Hijrah menuju sunnah lahiriah (jenggot, pakaian) tapi mengesampingkan sunnah bathiniyah-qalbiyah, juga mengesampingkan sunnah Nabi -shallallahu alaihi wa sallam- dalam berdakwah (cara mengajak dan bersikap kepada orang lain yang berbeda).
–Semangat hijrah politik, tapi mengabaikan aspek-aspek lain dari aturan Islam yang menyeluruh, seperti kaidah maaliyah
aammah (kaidah pengelolaan keuangan publik) dan meninggalkan kaidah-kaidah siyasah syariyyah.
Tentunya, hijrah tematik tak sebatas yang tersebut di atas, masih banyak fenomenanya. Hijrah tematik pada aspek ekonomi, aspek politik, aspek sosial, aspek ibadah, aspek akidah, dan sebagainya.
Perspektif dakwi-tarbawi tak mempermasalahkan fenomena hijrah tematik. Bahkan, menganggapnya sebagai langkah positif bagi kehidupan individu dan umat. Patut disyukuri saat melihat muslimah yang hijrah dengan berhijab, saat melihat muslim yang semangat meninggalkan riba, saat melihat salah satu anggota keluarga yang menjadi shalih/shalihah, saat melihat pemuda yang bergairah mengikuti sunnah lahiriah, dan sebagainya.
Perspektif dakwi-tarbawi tak mempermasalahkan fenomena hijrah tematik. Karena, hidup itu berproses dan berislam yang menyeluruh juga membutuhkan proses. Hanya saja, perspektif dakwi-tarbawi mengingatkan agar tidak berpuas diri ketika berhasil menaiki satu tangga hijrah. Tangga hijrah itu bertingkat (madarij) yang semuanya mesti didaki. Itulah hijrah syamilah, hijrah menyeluruh (holistik).
Hijrah syamilah itu mendaki, sulit dan tinggi. Tapi yang terpenting adalah mengikuti resep nabawi yaitu ada niyyatun wa jihadun (HR. Al Bukhari), ada motivasi dan kesungguhan berproses dalam menaiki tangga-tangga hijrah syamilah. Tak masalah tak mencapai puncak, cukuplah namuutu
alaa thariqi al hijrah al syamilah, kita meninggal di tengah perjalanan menuju hijrah yang holistik.
Wallahu a`lam bisshwab
Malang, 5 Syawal 1440H