Gharar itu mastur al aqibah, ketidakjelasan akibat antara ada dan tidaknya barang, atau ketidakjelasan kadar dan sifat. Muamalah yang mengandung gharar berarti transaksi yang mengandung ketidakjelasan, ketidakpastian atau keraguan tentang keberadaan, sifat, kadar suatu komoditas yang menjadi maqud alaih (objek akad).
Rasulullah –shallalaahu alaihi wa sallam- melarang praktik jual-beli yang mengandung gharar (HR. Muslim).
Berdasar hadits ini, umumnya ulama dan fuqaha melarang praktik gharar, meskipun dijumpai pendapat Ibnu Sirin –rahimahullah- yang mengatakan bahwa gharar dalam muamalat dibolehkan (laa alamu bi baii al gharari basan).
Para ulama yang berpendapat bahwa ‘gharar’ dilarang menyaratkan beberapa kriteria berikut:
Pertama, bila gharar itu banyak dan dominan, sedangkan gharar yang sedikit dibolehkan. Dalam kaidah fiqih, ‘al ghararu al katsiru yufsidu al aqda duuna yasiirihi. Menurut Ibnu Abdi al Barr –rahimahullah, bahwa praktik jual beli selalu mengandung unsur gharar karena tak mungkin mengetahui objek transaksi secara detail. Dikatakan banyak, bila gharar itu dominan dalam akad hingga menjadi sifat akad tersebut.
Kedua, bila terjadi dalam akad pertukaran, akad bisnis/komersil. Maka, tidak boleh gharar dalam jual beli, sewa-menyewa, bagi hasil, dan sebagainya. Adapun gharar dalam akad tabarruat, akad sosial, seperti hibah dan sedekah, gharar dibolehkan.
Tentang hubungan antara gharar dan transaksi, Imam Malik –rahimahullah- membuat tiga kategori tasharrufat (tindakan, perbuatan atau ucapan):
- Pertukaran murni atau bisnis murni, tidak diperkenankan adanya gharar, kecuali bila ada kebutuhan (hajah).
- Kebajikan murni, bukan bisnis atau investasi. Pada jenis ini, gharar tidak berpengaruh pada sah atau tidaknya transaksi.
- Pertengahan antara pertukaran dan kebajikan, seperti akad nikah dimana harta bukan menjadi tujuan utama tetapi syara menyaratkan adanya harta (QS. Al Nisa: 24). Untuk jenis ini tidak diperkenankan adanya gharar.
Ketiga, bila gharar terdapat pada sasaran inti (objek) transaksi. Adapun gharar yang terdapat pada suplemen, bukan sasaran utama, maka dibolehkan. Kaidah fiqih menyebutkan, “Yughtafaru fi al taabii maa laa yughtafaru fi ghairihi”, diperkenankan dalam suplemen apa yang tidak dibolehkan pada selainnya. Misal, bila yang menjadi objek utama jual beli adalah sebidang tanah, tapi di lahan itu terdapat pohon mangga yang sedang berbunga, maka yang demikian diperkenankan. Tapi, bila yang menjadi objek utama adalah buah mangga padahal masih berupa bunga, maka yang demikian dilarang.
Keempat, bila tidak ada unsur haajah ammah, kebutuhan umum yang mendesak. Bila terdapat unsur kebutuhan umum yang mendesak, maka dibolehkan meskipun ada gharar. Ibnu Taimiyah –rahimahullah- beralasan, bahwa bahaya praktik gharar lebih ringan dibanding bahaya riba. Karena itu, bila ada kebutuhan, meskipun ada gharar, tetap dibolehkan. Bahkan bila dilarang justru akan merugikan.
Jual beli rumah menjadi kebutuhan umum sehingga transaksi dilakukan secara global, tidak harus rinci dan mendetail. Sehingga tak masalah bila tak mengetahui apa yang ada dalam pondasi atau tembok.
Tapi, bila penjual sengaja mengurangi kualitas pondasi atau tembok sehingga berbeda dengan yang dijanjikan, maka yang demikian tergolong tadlis (penipuan) dan bukan gharar. Disebut tadlis bila salah satu pihak mengetahui dan disebut gharar bila kedua pihak tidak mengetahui.
Wallahu alam bisshawab
Sumber: Al Muamalat al Maaliyah- Ashalah wa Mu`asharah, Dubyan bin Muhammad al Dubyan, Jilid III/499-508.
Malang, 6 Shafar 1440H