Aulawiyat berarti prioritas. Fiqih aulawiyat berarti fiqih (ilmu) prioritas. Fiqih jenis ini bersanding dengan fiqih maqashid (fiqih tujuan-tujuan syariah), fiqih muwazanah (fiqih timbangan), dan fiqih waqi’ (fiqih realitas).
Fiqih aulawiyat (prioritas) memandu kita agar tepat dan proporsional dalam bersikap, bertindak, dan menerapkan hukum syara’ dalam kehidupan. Intinya, fiqih aulawiyat mengajarkan agar mendahulukan apa yang harus didahulukan dan mengakhirkan apa yang seharusnya diakhirkan.
Dengan fiqih awlawiyat kita menjadi paham bahwa yang terpenting harus didahulukan dari pada yang penting; yang penting didahulukan dari pada yang tidak penting; yang mendesak didahulukan dari pada yang longgar; yang wajib harus diutamakan dari pada yang sunnah, dan sebagainya.
Ketiadaan fiqih aulawiyat akan menjadikan hidup ini timpang dan
kurang proporsional. Misalnya, lebih memerhatikan yang sunnah dari pada yang wajib, lebih mementingkan infaq untuk membangun masjid dari pada infaq untuk bea siswa bagi generasi yang akan mengisi masjid, lebih mementingkan haji-umrah yang ke 2, 3, 4, dari pada membantu pihak yang membutuhkan.
Ada beberapa kaidah dalam fiqih aulawiyat, diantaranya:
- Amal yang berdampak luas diutamakan daripada amal yang bermanfaat secara terbatas.
Karena itu Ibnu Abbas -radliyallahu ‘anhuma- memilih membantu orang lain dari pada i’tikaf di Masjid Nabawi. I’tikaf hanya bermanfaat bagi Ibnu Abbas, sedangkan membantu orang lain bermanfaat untuk Ibnu Abbas dan yang lain. Dampaknya lebih luas. - Amal yang kontinyu lebih diutamakan dari pada amal yang terputus.
Karena, kata Nabi -shallalahu ‘alaihi wa sallam- amal yang kontinyu mesikipun sedikit lebih dicintai oleh Allah -ta’ala- dari pada amal banyak tapi tidak kontinyu.
Dan masih banyak kaidah-kaidah yang lain tentang fiqih prioritas ini.
Sekarang memasuki bulan Dzulhijjah. Diantara amalan terbaik berdasar waktu adalah menyembelih hewan qurban. Tapi, bertepatan dengan ibadah qurban kita menyaksikan saudara-saudara kita mengalami gempa yang bertubi-tubi.
Bagaimana menerapkan fiqih aulawiyat antara menyembelih hewan qurban atau membantu saudara di Lombok?
- Bagi yang berharta lebih, mungkin tak perlu menerapkan prioritas, karena ia mampu berqurban sekaligus membantu para korban gempa, bahkan lebih besar dari harga hewan qurbannya.
- Bagi yang berharta cukup, boleh jadi bisa menerapkan konsep titik temu antara berqurban dan membantu korban gempa, yaitu dengan mengalokasikan qurbannya di kawasan bencana.
- Bagi yang berharta cukup untuk berqurban, dimungkinkan untuk menimbang bahwa para korban gempa lebih membutuhkan pemenuhan kebutuhan dasar dan pokok mereka, sehingga ia mengalihkan niat menyembelih hewan qurban kepada niat donasi untuk saudara-saudara di Nusa Tenggara Barat. Untuk tahun ini tidak berqurban, tapi membantu yang sedang kesulitan.
Langkah mengutamakan donasi bagi korban gempa diprioritaskan dengan pertimbangan:
- Berqurban bermanfaat secara terbatas, tapi donasi untuk korban gempa bermanfaat lebih luas.
- Kebutuhan para korban gempa bersifat mendesak, sedangkan berqurban bersifat muwassa’ (longgar) bahwa masih ada kesempatan di masa mendatang, in syaa Allah.
- Menyembelih hewan qurban itu sunnah, sedang membantu saudara guna memenuhi kebutuhan pokoknya (dalam kondisi tertentu) bisa menjadi wajib.
- Dengan berqurban, si pequrban bisa menjaga agama yang ada dalam dirinya (hifdhu din), tapi dengan donasi kepada para korban gempa akan meringankan mereka dalam menjaga agama, jiwa, generasi, akal, harta, dan lingkungan.
Apalagi, Allah -ta’ala- berfirman dalam hadits qudsi yang diriwayatkan Imam Muslim: “Wahai hambaKu, Aku sakit tapi kamu tak menjengukku. Aku lapar tapi kamu tak memberiKu makan. Aku haus tapi kamu tak memberiku minum…”.
Tapi, semoga para pembaca tulisan ini tergolong yang pertama: mampu berqurban di tempat tinggalnya, dan mampu berdonasi lebih banyak untuk sudara-saudara terdampak bencana. Dan bagi pada pedagang hewan qurban, semoga bisnisnya barakah dan hewan dagangannya laris manis.
Amin
Wallahu’alam bishowab