DUA MIHRAB

Ada dua mihrab. Pertama, mihrab al ibadah, tempat para hamba menunaikan syiar-syiar ibadah. Kedua, mihrab al hayat, mihrab kehidupan yang terbentang luas di muka bumi, tempat para hamba merealisasikan ibadah dalam artinya yang luas dan dalam dimensinya yang menyeluruh.

Dewasa ini terjadi dikotomi antara mihrab al ibadah dan mihrab al hayah. Masing-masing dianggap memiliki dua dunia yang berbeda sehingga tak dijumpai titik temu. Ada yang shalih ritualnya dalam mihrab ibadah, tapi ia tak shalih di mihrab hayah. Ada yang luar biasa menjalani aktifitas di muka bumi, tapi ia tidak peduli dengan mihrab ibadahnya. Padahal, dia berikrar  ‘sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku untuk Allah –taala’.

Seharusnya ada kata selaras. Antara mihrab ibadah dan mihrab hayah tak mungkin dipisah. Apa yang dilakukan dalam mihrab ibadah, itulah yang ditunaikan dalam mihrab kehidupan. Apa yang ditaati dalam praktik ritual, itu pula yang dijaga saat berkelana di muka bumi. Bahkan kesempurnaan ibadah terletak pada akhlashuhu (paling ikhlas), ashwabuhu (paling tepat-selaras dengan ilmu), dan pada dampak positif berupa aplikasi nilai-nilai ibadah ritual dalam kehidupan.

Seharusnya ada kata selaras. Karana mihrab ibadah adalah masjid, dan mihrab kehidupan adalah bumi yang juga masjid. Nabi shallallahu alaihi wa sallam– bersabda, “Dijadikan bumi ini sebagai masjid dan thahura (suci dan menyucikan)” (Hadits Shahih).

Karena itu nilai-nilai yang dihadirkan dalam mihrab ibadah adalah nilai-nilai yang seharusnya dihadirkan dalam mihrab kehidupan. Sebab mihrab ibadah untuk Allah, dan mihrab kehidupan juga untuk Allah –taala.

Nilai pertama yang melekat pada mihrab ibadah adalah thaharah (suci). Thaharah adalah takhliyah dan tahliyah, membersihkan diri dari keburukan dan menghiasi diri dengan keutamaan. Thaharah material dan thaharah immaterial. Dalam mihrab ibadah unsur penting thaharah adalah suci pakaian, suci badan, dan suci tempat. Sedangkan dalam mihrab kehidupan aplikasi thaharah sangat luas dan integral.

1. Thaharah niat, yaitu membebaskan hati dari riya dan niat yang tidak tepat. Suci niat dalam bekerja adalah mencari nafkah untuk menyukupi kebutuhan keluarga dan diri. Sedangkan niat yang tak suci bila mencari dunia untuk _riyaan wa mufakharatan_ (pamer dan membanggakan harta) (Hadits dengan sanad yang shahih).

2. Thaharah himmah dan azimah, yaitu meluruskan tekad dan kemauan serta menyucikan orientasi. Seperti yang disebutkan dalam QS. Al Mukminun: 5, “Yaitu orang-orang yang untuk berzakat mereka faailuun (bekerja dengan sungguh-sungguh)”.

3. Thaharah al qalbi, dengan membersihkannya dari kototan dan penyakit; hasad, iri, sombong dan sebagainya.

4. Thaharah al jawarih, yaitu membersihkan badan dari perbuatan-perbuatan tercela. Bersih dan suci lisan agar tak ada yang tersakiti oleh ucapan dan ujaran. Suci tangan sehingga tak ada yang tersakiti oleh pukulan, dan tak ada yang terluka oleh jempolan dengan berita dan informasi palsu (hoax).

“Dan agungkanlah Tuhanmu, dan bersihkanlah pakaianmu, dan tinggalkanlah segala (perbuatan) yang keji” (QS. Al Muddatsir: 3-5)

Mihrab al ibadah dan mihrab al hayah (kehidupan). Mesti ada keserasian antara ibadah dan kehidupan, karena keduanya untuk Allah -ta’ala.

Nilai kedua yang mesti diselaraskan adalah al sakinah (ketenangan). Dalam mihrab al ibadah harus ada sakinah. Ibadah kurang sempurna bila tak ada sakinah.

Abu Qatadah Al Anshari -radliyallahu ‘anhu- meriwayatkan ketika ada sahabat yang tergesa-gesa menuju shalat,

Rasulullah menegurnya, “Ada apa?”  Sahabat itu menjawab, “Saya tergesa-gesa menuju shalat”.
Rasulullah menasihati, “Jangan tergesa-gesa! Bila mendatangi shalat, tenanglah! Yang masih terkejar (dari rakaat shalat berjamaah), tunaikankah. Dan (rakaat) yang tertinggal, lengkapilah” (HR. Al Bukhari dan Muslim).

Sebelum shalat ada sakinah menuju masjid. Saat shalat ada thuma’ninah yang juga berarti ketenangan. Setelah shalat juga ada dzikir dengan tenang yang menenangkan hati.

Sakinah juga ada dalam haji. Saat meninggalkan Arafah menuju Muzdalifah, jamaah berdesak-desakan sedangkan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- berangkat dengan tenang. Beliau berangkat sambil menarik kendali Al-Qushwa (ontanya) seraya berkata, “Wahai manusia, tenanglah, tenanglah” (Shahih Ibnu Hibban).

Dalam zakat atau shadaqah juga ada sakinah. Tak diperkenankan bagi muzakki atau pihak yang bersedekah gaduh, menyebut-nyebut, atau menyampaikan ujaran yang menyakiti penerima. Dalam zakat juga ada doa yang menenangkan para muzakki.

Dalam puasa juga ada keharusan menjaga ketenangan dengan imsak (menahan diri). Bahkan bila ada pihak yang membuat keribuatan, dianjurkan membalas dengan jawaban yang menenangkan: inni shaimun. Dan biasanya orang yang berpuasa sangat tenang, apalagi ‘setelah shalat subuh’.

Nilai sakinah (ketenangan) dalam ibadah mesti dihadirkan dalam kehidupan. Bila dalam kehidupan yang dominan adalah mencari ma’isyah (penghidupan), maka yang diinginkan adalah sakinah fi thalabi al rizqi wa al ma’isyah.

Ketenangan dalam mencari rizki dan penghidupan tak berarti kemalasan. Tapi, sakinah dalam kehidupan berarti ada mujahadah (kesungguhan) yang dibarengi dengan keyakinan. Seperti kata Hasan al Bashri -rahimahullah, “Aku yakin rizkiku tak akan diambil orang lain, maka hatiku menjadi tenang”.

Keyakinan bahwa Allah Pembagi Rizki tak pernah salah dalam membagi. “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat  memanfaatkan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan” (QS. Al Zukhruf: 32)

Ketenangan dalam mihrab ibadah mesti hadir dalam mihrab kehidupan: rumah tangga, sosial, dan profesional.

Mihrab al ibadah dan mihrab al hayah. “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam” (QS. Al An’am: 162). Ibadah dan kehidupan adalah pengabdian kepada Allah -ta’ala.

Dalam mihrab al ibadah ada al khudlu’ (menundukkan diri) kepada-Nya. Berserah diri kepada Yang Esa. Wajah, dua telapak tangan, dua lutut, dan dua ujung kaki sujud mengabdi kepada Al Khaliq.

Ibadah itu khudlu’. Bila shalat mengajarkan kesiapan semua organ tubuh untuk tunduk kepada Allah, maka khudlu’ dalam kehidupan adalah santun. Semua organ tubuh siap memberi manfaat bagi kehidupan, tidak digunakan untuk menyakiti dan mendhalimi sesama. Orang yang tunduk (muslim) itu adalah man salima al muslimuna min lisanihi wa yadihi (Muttafaq ‘Alaihi).

Bila shiyam membangun budaya baru yang berbeda dari kebiasaan (al khuruj min al ma’luf), maka dalam kehidupan ada ketundukan pada kaidah yang dianggap gharib (asing) di tengah kebiasaan mainstream.

Biasanya, pedagang mengejar laba, tapi pebisnis yang khudlu’ mengejar pahala, barakah, dan laba.
Biasanya, konsumsi untuk meraih kepuasaan, tapi konsumen muslim yang khudlu’ akan mengejar falah.
Biasanya, jabatan dan kepemimpinan dianggap kehormatan, tapi pemimpin yang khudlu’ menganggapnya sebagai beban, jabatan untuk melayani bukan untuk dilayani.

Dalam ibadah haji, berbahagialah mereka yang mampu menggali nilai khudlu’ dan tawadlu’, yang menjadi nilai penting tarbiyah dalam haji. Jabatan tak layak dibanggakan, karena di antara jamaah ada ribuan yang memiliki jabatan yang sama atau bahkan lebih tinggi. Kekayaan tak layak dibanggakan, karena ada yang lebih kaya yang turut hadir mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah -ta’ala.

Al hayah atau kehidupan adalah area tahqiqu al ma’na al syamil li al ibadah (mendemonstrasikan makna ibadah yang menyeluruh). Mihrab kehidupan adalah ruang aplikatif bagi ketundukan diri dalam segenap interaksi: politik, ekonomi, sosial, budaya.

Khudlu’ dalam kehidupan itu santun. “Dan janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung” (QS. Al Isra’: 37).

Khudlu’ dalam kehidupan itu santun. Dan Nabi Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam- memberi contoh khudlu’ di pasar dalam riwayat Al Bukhari: bahwa saat di pasar Rasulullah tidak pernah berbuat buruk, gaduh (berteriak-teriak), tidak membalas dengan keburukan. Bahkan beliau bersikap toleran dan memberi maaf”.

Khudlu’ dalam kepemimpinan pernah disampaikan oleh Abu Muslim al Khaulani kepada Mu’awiyah: “Engkau ini pelayan yang diupah. Engkau dipekerjakan oleh pemilik untuk menjaga dan merawat ternak-ternaknya. Jika engkau mengurusnya dengan baik, merawat dan mengobati yang sakit, rajin merawat hingga yang kecil menjadi besar, maka pemiliknya akan memberimu upah.

“Tetapi jika engkau teledor, tidak mengurusnya dengan baik, tidak mengobati yang sakit, tidak menjaga dan merawatnya, maka pemiliknya akan menghukummu.”

Wallahu a’lam bisshawab

Malang, 9 Syawal 1439H

You might like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.