Belajar dari Hijrah Nabi

Umar bin Khatthab -radliyallahu ‘anhu- menetapkan hijrah Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- ke Madinah sebagai awal kalender hijriyah. Khalifah kedua itu tidak menjadikan kelahiran Nabi sebagai awal penanggalan muslimin, seperti yang dilakukan oleh Ahli al Kitab yang menetapkan kelahiran Isa sebagai tonggak Masehi (miladiyah). Ijtihad Umar ini memberi inspirasi bahwa umat Muhammad adalah ummatu ‘amalin, umat kerja, yang eksistensinya ditandai oleh karya dan sumbangsih. Maka, zaman tak berarti tanpa karya dan kontribusi.

Hijrah ke Madinah menandai puncak resiliensi. Bahwa umat Muhammad adalah umat yang memiliki kemampuan untuk beradaptasi menghadapi tekanan dan situasi sulit. Mereka tetap teguh mendampingi Rasulullah, meskipun dalam tekanan yang bertubi-tubi.

Generasi awal Islam ini memiliki regulasi emosi yang luar biasa.

Khabbab bin Arts -radliyallahu ‘anhu- ketika mengadu tentang beratnya tekanan Quraisy, Rasulullah justru mengingatkan kondisi umat terdahulu yang mengalami siksa lebih berat. Nabi memberi contoh sekaligus menanamkan kemampuan tetap tenang dalam situasi tekanan.

Hijrah mengajarkan aspek lain dari resilensi; bagaimana mengendalikan keinginan, dorongan, syahwat (keinginan) diri, serta tekanan yang muncul dalam diri. Melalui konsep niat, pengendalian impuls itu dibangun. Rasulullah mengingatkan ‘Muhajir Ummi Qais’ agar mendasari hijrahnya dengan lillahi wa li rasulihi (HR. Bukhari), bukan karena dunia atau wanita yang hendak dinikahi.

Ikhlas niat akan meringankan masalah, sedang ketidakikhlasan justru akan melahirkan masalah baru: benci, tidak suka, dendam, dan sebagainya.

Hijrah itu puncak optimisme. Ada harapan pada masa depan, dan percaya bahwa arah hidup akan mampu dikendalikan. Rasulullah dan sahabat tak putus asa meskipun tekanan bertubi-tubi silih berganti. Ketika Mekkah buntu, ada harapan di Habasyah. Ketika penduduk Thaif bersikap sama dengan pembesar Quraisy, Rasulullah mencari peluang di hati orang-orang Yatsrib yang berhaji di Mekkah. Optimisme tinggi.

Hijrah mampu menuai empati warga Anshar yang sangat mengenali keadaan psikologis dan kebutuhan emosi Muhajirin. Penduduk Madinah siap menyediakan lahan yang subur untuk dakwah Nabi. Penduduk Anshar membuka hati bahkan apa saja yang dibutuhkan Nabi dan Muhajirin. Empati yang luar biasa hingga Saad bin Rabi’ menawarkan sebagian harta dan salah satu istrinya untuk Abdurrahman bin Auf.

Hijrah mengajarkan efikasi diri. Bahwa individu- individu, Nabi dan Sahabat, meyakini bahwa diri merupakan elemen penting dalam menyelesaikan masalah dakwah. Tiga belas tahun di Mekkah, bertahan menghadapi tantangan, tidak mengandalkan ‘kun fa yakun’. Tapi, semua bermujahadah keluar dari masalah hingga Allah -ta’ala- menunjukkan jalan-Nya.

Rasulullah dan para sahabat mengambil langkah hijrah dengan mengorbankan risiko dunawi guna meraih bahagia ukhrawi. Ternyata, saat risiko akhirat dijaga dengan baik, maka risiko dunia bisa diminimalisir, bahkan Yatsrib menjadi Madinah Munawwarah, kota (peradaban) yang tercerahkan.

Ayo hijrah. Ayo move on!

Wallahu a’lam bisshawab

Malang, 5 Muharram 1440H

You might like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.