Barang Tak Ada, Tapi Boleh Menjual Pada Bisnis Offline dan Online

Di antara syarat yang melekat pada maqud alaihi (objek akad) adalah ‘ada’ saat transaksi. Biasanya, syarat ‘ada’ dilekatkan pada barang, sedangkan uang (harga) yang juga menjadi maqud alaihi tak terlalu disoal saat tidak ada’. Padahal, baik barang maupun uang adalah objek akad.

Ibnu Taimiyah dan Ibnu al Qayyim -rahimahumallah, berpendapat bahwa ‘ada’ atau ‘tidak ada’ bukanlah syarat yang melekat pada objek akad. Akan tetapi, yang menjadi syarat adalah objek akad itu ‘bisa’ diserahterimakan. Sehingga bila tidak bisa diserahterimakan berpotensi gharar yang terlarang.

‘Tidak (belum) ada’ barang atau uang sering dijumpai dalam bisnis offline atau online. Sebagai contoh jual beli aqiqah. Transaksi aqiqah tergolong ‘baru’. Dulu, bila ingin ber-aqiqah, orang tua membeli kambing kemudian menyembelih, memasak, dan mengundang masyarakat untuk turut berbagi kegembiraan.

Sekarang, akad aqiqah merupakan akad ganda. Akad ini menggabungkan antara akad jual-beli kambing, sewa (ijarah) jasa memasak gulai dan sate, jasa packing, jasa antar, bahkan kadang jasa membagi hidangan aqiqah ke panti asuhan. Atau, praktik akad aqiqah merupakan penggabungan antara jual-beli istishna (pesan pembuatan) hidangan aqiqah dengan sewa jasa antar dan penyaluran. Seluruh akad itu digabung menjadi satu, dengan satu pembayaran dan satu konsekwensi hukum.

Saat akad berlangsung objek akad tak ada. Kambing belum ada (dimiliki oleh penyedia jasa aqiqah), apalagi gulai dan satenya.

Contoh lain, membeli nasi bungkus sebanyak 30 porsi, tapi yang tersedia hanya 5 porsi. Kita pun membeli nasi bungkus yang belum ada, yaitu 25 prosi.

Pada praktik online, juga dijumpai bahwa saat transaksi barang tidak ada pada penjual.

Sebagian fuqaha berpendapat bahwa menjual barang yang tidak ada (madum) dilarang karena hadits: “Rasulullah melarang jual beli madum (tak ada)”.
Tapi, bagi Ibnu al Qayyim, hadits dengan redaksi larangan bai al madum tak dikenal di kitab-kitab hadits. Hakikatnya adalah riwayat dengan makna atas hadits Hakim bin Hizam yang menyebutkan ‘laa tabi maa laisa indak”. Makna hadits ‘maa laisa indaka’, menurut Ibnu al Qayyim adalah barang ‘tertentu’ yang tidak dimiliki, bukan semua barang yang tidak ada atau tidak dimiliki.

Terkait hubungan antara barang tak ada dengan boleh atau tidaknya transaksi, diantara ulama membuat kategori berikut:

1) Madum (tak ada) yang tidak bisa diserahterimakan, maka tidak boleh menjualnya karena gharar.

2) Madum (tak ada) tapi mungkin ada di masa mendatang. Jenis ini, (a) bila yang dibeli adalah barang tertentu yang bukan milik, maka tidak diperkenankan; (b) dan bila transaksi didasarkan pada kriteria atau sifat (jual-beli salam atau istishna), maka boleh.

3) Madum (tak ada) tapi mengikuti yang sudah ada. Seperti dua puluh lima prosi nasi yang belum ada mengikuti 5 porsi yang sudah ada, para ulama sepakat mengatakan boleh.

4) Barang tidak ada tapi transaksi berdasar sifat dan kriteria, hukumnya boleh, karena tergolong jual-beli salam.

Wallahu alam bisshawab

Malang, 15 Rajab 1440H

You might like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.