PERTANYAAN
Bolehkah pada satu barang terdapat dua harga yang berbeda: harga tunai dan harga non tunai? Misal, bila tunai seharga 10.000,- dan tidak tunai harga 15.000.
Dalam khazanah fiqih klasik contoh seperti itu merupakan salah satu tafsir atas hadits yang melarang baiataini fi baiatin (HR. Turmudzi, Nasai) atau shafqataini fi shafqatin.
Sesungguhnya ulama berbeda pendapat tentang makna larangan yang dikandung oleh redaksi hadits di atas. Tafsiran hukum yang menyebutkan adanya larangan harga yang berbeda antara tunai dan tidak tunai, bukan satu-satunya makna yang dengan demikian dianggap yang paling tepat sehingga adanya 2 harga berbeda dalam satu barang dikatakan terlarang atau haram.
Dalam Kitab Al Uqud al Maaliyah Al Murakkabah (Akad Ganda dalam Keuangan) dan Kitab Al Muamalat al Maaliyah-Ashalah wa Muasharah (Muamalah Keuangan Tinjauan Klasik dan Kontemporer) dinukil beberapa tafsiran atas larangan dua transaksi dalam satu transaksi. Berikut catatan singkat tentang tafsiran-tafsiran itu:
Menjual barang dengan harga kontan sebesar 10 atau harga 20 bila dibayar tangguh. Kemudian dua pihak yang bertransaksi berpisah tanpa memastikan dan memilih salah satu harga.
- Menjual satu barang dengan harga kontan 10 atau harga 20 bila dibayar tunda. Tawaran ini mengikat dan tidak ada pilihan. Akan tetapi bila ada pilihan, maka menurut Imam Malik, yang demikian dibolehkan.
- Menjual sesuatu dengan menyaratkan adanya akad lain seperti hutang, sharf, ijarah, syirkah. Seperti aku menjual hasil panenku kepadamu dengan syarat kamu menghutangi aku.
- Menjual salah satu dari dua barang yang berbeda dengan satu harga. Misal, aku jual salah satu dari sepeda motor dan televisi ini dengan harga 10 juta.
- Menjual barang kepada orang lain dengan tidak tunai, kemudian membeli kembali barang itu dari pembeli secara tunai. Praktik ini disebut jual beli inah. Misal, A menjual sepeda kepada B secara tidak tunai, kemudian A membeli kebali secara tunai dari B dengan harga yang lebih rendah.
Mencermati ragam penafsiran di atas dapat dipahami bahwa pendapat yang melarang adanya harga tunai dan harga kredit pada satu barang adalah tafsir atas hadits, dan bukan hadits. Meskipun demikian, penting memerhatikan mengapa ada pendapat yang melarang praktik tersebut. Alasannya ada jahalatu al tsaman (harga yang tidak jelas).
Bagaimana bila dari dua harga itu dipilih salah satu?
Jumhur (mayoritas) ulama, baik klasik maupun kontemporer, menafsirkan hadits dua baiah dalam satu baiah atau dua shafqah dalam satu shafqah yaitu larangan dua harga pada satu barang, dan ketika terjadi akad pembeli tidak memilih salah satu dari dua harga yang ditetapkan. Praktik inilah yang dilarang, karena harga masih majhul atau mubham atau tidak jelas.
Tapi, apabila pembeli dan penjual sepakat dengan salah satu harga (baik harga tunai atau tangguh), maka praktik jual beli seperti ini hukumnya sah dan dibolehkan. Karena hakikatnya adalah satu akad dengan pilihan antara dua harga.
Imam Tirmidzi –rahimahullah– berpendapat bahwa baiataini fi baiatin adalah seorang penjual berkata, “Saya jual baju ini dengan pembayaran tunai seharga 10, dan secara tangguh seharga 20. Kemudian penjual meninggalkan pembeli tanpa menjatuhkan pilihan pada salah satu harga yang ditawarkan. Tapi, apabila ketika penjual dan pembeli berpisah dan menyepakati memilih salah satu dari dua harga, maka hukumnya boleh, karena jual beli berlangsung atas salah satu dari dua harga”. Sehingga tidak terjadi jahalatu al tsaman (ketiadapastian harga).
Demikian pula pendapat ulama kontemporer yang memilih pendapat yang sama dengan jumhur ulama, bahwa pada tahap penawaran dibolehkan menyebutkan pilihan harga: tunai atau tangguh. Tapi saat akad harus memilih salah satu harga.
Wallahu alam bisshawab
Malang, 20 Rajab 1439H