Kata properti merujuk pada sesuatu yang dimiliki oleh seseorang, barang dan non barang. Tapi, masyarakat, lebih mengenal properti sebagai real estate, rumah, tanah, ruko, gudang atau gedung. Properti dalam istilah Arab disebut dengan aqaar (jamak:
aqaaraat). Jadi, zakat properti yang dimaksud dalam tulisan ini adalah zakat `aqaaraat yang meliputi rumah, apartemen, ruko, gedung, gudang, tanah, villa, dan sebagainya.
Kondisi properti dewasa ini berbeda dengan masa lalu, tentu berdampak pada dinamika zakat properti. Dengan menyermati kondisi properti kontemporer, ada beberapa poin catatan terkait zakat properti.
- Kaidah dasar menyatakan bahwa properti tidak menjadi objek zakat, sehingga tidak ada kewajiban zakat atas kepemilikan rumah, apartemen, ruko, gedung, gudang, tanah, villa, dan sebagainya, kecuali bila fasilitas-fasilitas itu menjadi objek bisnis, dijualbelikan atau disewakan.
- Ulama sepakat bahwa properti yang dimiliki untuk pemanfaatan pribadi, seperti rumah untuk dihuni, gudang untuk penyimpanan harta pribadi, tidak menjadi objek zakat.
- Lahan pertanian/perkebunan tidak menjadi objek zakat, tapi zakat dibebankan atas hasil bila mencapai nishab (zakat pertanian). Adapun lahan yang dimiliki dengan niat dijual kemudian ditanami sembari menunggu datangnya pembeli, maka ada kewajiban zakat hasil tanaman dan zakat objek dagang, karena ada dua kewajiban dengan dua sebab yang berbeda.
- Properti yang disewakan, tidak ada zakat atas nilai properti itu. Tapi zakat dibebankan atas besaran sewa yang dihasilan bila mencapai nishab dan berlalu periode haul. Dengan demikian, rumah, gudang, apartemen, villa yang disewakan dikenai zakat hasil sewa, bukan atas nilai properti itu.
- Properti yang dimiliki dengan niat dijadikan objek bisnis (tijarah), maka ada kewajiban zakat. Yang dimaksud dengan niat bisnis adalah adanya niat mendapat laba atas kepemilikan properti itu.
- Sekadar keinginan menjual properti tidak secara otomatis menjadikan properti itu sebagai barang dagangan yang terbebani zakat. Sebab motif pemilik ketika menjual propertinya beragam. Ada yang menjual tanah atau rumah karena kesuiltaan ekonomi, pindah tempat tinggal, atau tidak lagi menyukainya, dengan demikian tidak ada kewajiban zakat perdagangan.
- Bila memiliki properti tanpa memastikan niat untuk bisnis atau niat tertentu, maka dianggap untuk keperluan pribadi yang merupakan hukum asal kepemilikan. Dengan demikian tidak ada zakat.
- Bila memiliki properti untuk keperluan pribadi kemudian berubah niat untuk bisnis, maka tentang kewajiban zakat terdapat perbedaan pendapat. Dan di antara ulama menguatkan adanya kewajiban zakat.
- Bila memiliki properti dengan niat untuk bisnis (laba penjualan), kemudian berubah niat untuk pemanfaatan pribadi, maka tidak ada zakat, karena syarat niat untuk mencari laba bisnis terputus sebelum akhir haul.
- Bila memiliki properti untuk keperluan pribadi serta untuk dijadikan objek jual beli, atau diniati sebagai objek jual beli serta dimanfaatan untuk keperluan pribadi, maka yang menjadi patokan adalah tujuan awal kepemilikan.
- Bila properti dalam tahap pengerjaan dan diniatkan untuk diperjualbelikan, maka ada kewajiban zakat, baik sudah terjual atau belum terjual hingga selesai pengerjaannya. Zakatnya didasarkan pada nilai saat waktu kewajiban zakat tiba.
- Properti yang diniatkan untuk diperdagangkan dengan tujuan mencari untung, bila si pemilik menahannya hingga terjadi kenaikan harga, maka dikeluarkan zakatnya tiap tahun, meskipun belum terjual bertahun-tahun (al tajir al mutarabbish).
- Properti yang dibeli dengan tujuan untuk hifdhu al maal (semacam menabung), tidak ada kewajiban zakat, kecuali bila niat membelinya adalah menghindari kewajiban zakat.
- Bila membeli properti untuk diperdagangkan (mencari untung), tapi belum terjadi serahterima kemudian memasuki haul (putaran tahunan), maka ada kewajiban zakat, karena properti sudah menjadi milik pembeli dengan akad.
- Properti yang menjadi barang jaminan, selama disiapkan sebagai barang dagangan dengan niatan mencari keuntungan, tetap ada kewajiban zakat.
- Properti yang diwakafkan untuk kepentingan sosial tidak ada kewajiban zakat.
- Jumhur (mayoritas) ulama tidak membedakan jenis properti, apakah tergolong komoditas yang raa’ij (banyak peminat dan cepat perputarannya) atau komoditas yang kaasid (minim peminat atau lambat perputarannya). Pendapat jumhur ini didasarkan pada prinsip kewajiban zakat perdagangan adalah disiapkan untuk dikembangkan (menghasilkan). Sebagaimana uang, selama memenuhi syarat, baik diputar (untuk investasi) atau disimpan (tidak diproduktifkan), selama properti itu memiliki nilai pasar dan dijual-belikan, maka wajib dikeluarkan zakatnya, tanpa memerhatikan apakah tergolong barang yang cepat laku atau tidak.
Tapi, diantara ulama ada yang berpendapat, bila pemilik properti sudah berusaha menjual tapi tidak ada pembeli yang berminat, maka dikeluarkan zakatnya bila sudah terjual untuk satu tahun saja.
Hukum akan berbeda bila properti yang belum terjual itu dikarenakan oleh kesengajaan dari penjual untuk menahan karena berharap kenaikan harga (lihat poin 11). - Perusahaan yang bergerak dalam bisnis properti dikarenakan menekuni kegiatan jual dan beli maka termasuk subjek zakat. Para investor bisa menyepakati bahwa perusahaan mengeluarkan zakat dagangan, atau masing-masing investor berinisiatif mengeluarkan zakat pribadinya.
- Properti yang disita (ditahan) sehingga pemiliknya tidak bisa bertindak apapun atasnya, maka tidak ada kewajiban zakat hingga pemiliknya kembali mampu mengelolanya.
- Penghitungan haul tidak diawali saat properti dimiliki oleh perusahaan, tapi mengikuti perputaran haul modal yang digunakan untuk membeli properti itu.
Bila diniati untuk keperluan pribadi, dan bila suatu saat ada potensi laba kemudian dijual, maka tidak ada zakat.
Bila niat awal untuk objek jual beli, kemudian properti itu digunakan untuk kepentingan pribadi sembari menunggu hadirnya pembeli dan adanya laba, maka ada kewajiban zakat perdagangan.